Ilmu Tentang Farmasi

Farmakodinamika obat ialah salah satu subdisiplin farmakologi yang mempelajari tentang efek biokimiawi dan fisiologi obat, serta mekanisme kerjanya.
Farmakodinamika obat juga mempelajari cara kerja obat , efek obat terhadap fungsi berbagai organ, dan pengaruh obat terhadap reaksi biokimia dan struktur organ obat.
Dengan memahami farmakologi diharapkan diketahui bagaimana interaksi obat dengan sel dan bagaimana efek dan respons yang terjadi.
Farmakodinamik adalah subdisiplin farmakologi yang mempelajari efek biokimiawi dan fisiologi obat serta mekanisme kerjanya.
  1. Mekanisme kerja obat
Kebanyakan obat menimbulkan efek melalui interaksi dengan reseptornya pada sel organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimiawi dan fisiologi yang merupakan respon khas untuk obat tersebut.
  1. Reseptor Obat
  2. Transmisi sinyal biologis (Setiawati, 2007).

Mekanisme Kerja Obat
Mekanisme kerja obat pada umumnya melalui interaksi dengan reseptor pada sel organisme. Reseptor obat pada umumnya merupakan suatu makromolekul fungsional, yang pada umumnya juga bekerja sebagai suatu reseptor fisiologis bagi ligan-ligan endogen (semisal: hormon dan neurtransmiter). Interaksi obat dengan reseptor pada tubuh dapat mengubah kecepatan kegiatan fisiologis, namun tidak dapat menimbulkan fungsi faali yang baru.
Terdapat bermacam-macam reseptor dalam tubuh kita, misalnya reseptor hormon, faktor pertumbuhan, faktor transkripsi, neurotransmitter, enzim metabolik dan regulator (seperti dihidrofolat reduktase,asetilkolinesterase). Namun demikian, reseptor untuk obat pada umumnya merupakan reseptor yang berfungsi bagi ligan endogen (hormon dan neurotransmitter).2 Reseptor bagi ligan endogen seperti ini pada umumnya sangat spesifik (hanya mengenali satu struktur tertentu sebagai ligan).
Obat-obatan yang berinteraksi dengan reseptor fisiologis dan melakukan efek regulator seperti sinyal endogen ini dinamakan agonis. Ada obat yang juga berikatan dengan reseptor fisioloigs namun tanpa menghasilkan efek regulator dan menghambat kerja agonis (terjadi persaingan untuk menduduki situs agonis) disebut dengan istilah antagonis, atau disebut juga dengan bloker. Obat yang berikatan dengan reseptor dan hanya menimbulkan efek agonis sebagian tanpa memedulikan jumlah dan konsentrasi substrat disebut agonis parsial. Obat agonis-parsial bermanfaat untuk mengurangi efek maksimal agonis penuh, oleh karena itu disebut pula dengan istilah antagonis parsial. Sebaliknya, obat yang menempel dengan reseptor fisiologik dan justru menghasilkan efek berlawanan dengan agonis disebut agonis negatif.

Pembagian reseptor fisiologik adalah :
  • Reseptor enzim – mengandung protein permukaan kinase yang memfosforilasi protein efektor di membran plasma. Fosforilasi mengubah aktivitas biokimia protein tersebut. Selain kinase, siklase juga dapat mengubah aktivitas biokimia efektor. Tirosin kinase, tirosin fosfatase, serin / treonin kinase, dan guanil siklase berfungsi sebagai situs katalitik, dan berperan layaknya suatu enzim.
Contoh ligan untuk reseptor ini: insulin, epidergmal growth factor (EGF), platelet-derived growth factor (PDGF), atrial natriuretic factor (ANF), transforming growth factor-beta (TGF-β), dan sitokin.
  • Reseptor kanal ion – reseptor bagi beberapa neurotransmitter, sering disebut dengan istilah ligandgated ion channels atau receptor operated channels. Sinyal mengubah potensial membran sel dan komposisi ionik instraselular dan ekstraselular sekitar.
Contoh ligan untuk reseptor ini: nikotinik, γ-aminobutirat tipe A (GABAA), glutamat, aspartat, dan glisin.
  • Reseptor tekait Protein G – Protein G merupakan suatu protein regulator pengikatan GTP berbentuk heterotrimer. Protein G adalah penghantar sinyal dari reseptor di permukaan sel ke protein efektor.
Protein efektor Protein G antara lain adenilat siklase, fosfolipase C dan A2, fosfodiesterase, dan kanal ion yang terletak di membran plasma yang selektif untuk ion Ca2+ dan K+. Obat selain antibiotik pada umumnya bekerja dengan mekanisme ini.
Contoh ligan untuk reseptor ini: amina biogenik, eikosanoid, dan hormone – hormon peptida lain.
  • Reseptor faktor transkripsi – mengatur transkripsi gen tertentu. Terdapat daerah pengikatan dengan DNA (DNA binding domain) yang berinteraksi secara spesifik terhadap genom tertentu untuk mengaktifkan atau menghambat transkripsi.
Contoh ligan: hormon steroid, hormon tiroid, vitamin D, dan retinoid
  • Second Messenger pada sitoplasma – dalam transduksi sinyal memungkinkan terbentuknya caraka kedua (second messenger) yang bertindak sebagai sinyal lanjutan untuk jalur transduksin sinyal.
Ciri khas cara kedua adalah produksinya yang sangat cepat dengan konsentrasi yang rendah.
Setelah sinyal utama (first messenger) tidak ada, caraka kedua akan disingkarkan melalui proses daur ulang.
Contoh: AMP, siklik GMP, siklik ADP

Selain daripada reseptor, obat juga dapat bekerja tanpa melalui reseptor, misalnya obat yang mengikat molekul atau ion dalam tubuh. Contohnya penggunaan antasida sebagai penetral keasaman lambung yang berlebihan. 2-merkaptoetana sulfonat (mesna) meniadakan radikal bebas disaluran perkemihan. Obat lain juga berfungsi sebagai analog struktur normal tubuh yang bisa “bergabung” ke dalam sel sehingga mengganggu fungsi sel dan tubuh. Misalnya analog purin dan pirimidin yang dapat diinsersei ke dalam asam nukleat antivirus dan kemoterapi untuk kanker.

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Respons Tubuh terhadap Obat
Tubuh setiap orang berbeda-beda dalam hal menghasilkan respons untuk pemberian obat dengan dosis tertentu. Pemberian obat biasanya telah disepakati secara bersama oleh farmakolog dalam dosis biasa ( dosis rata-rata) yang cocok untuk sebagian besar pasien. Dosis rata – rata ini dapat menimbulkan efek toksik untuk beberapa orang. Sebaliknya dosis rata-rata juga dapat menimbulkan efek yang tidak teraupetik.
Bagan di bawah ni menunjukkan bagaimana perjalanan suatu obat hingga menimbulkan efek farmakologik (respons pasien terhadap obat tertentu).
Kepatuhan pasien menentukan jumlah obat yang diminum. Pemberian obat per oral yang diserap dengan bioavailabilitas obat itu. Sementara itu bioavailabilitas ditentukan oleh mutu obat. Faktor farmakokinetik menentukan berapa dari jumlah obat yang diminum dapat mencapai tempat kerja obat untuk bereaksi dengan reseptor. Sementara factor farmakodinamik menentukan intensitas efek farmakologis yang ditimbulkan oleh kadar obat.
Kondisi Fisiologis
Kondisi fisiologik ditentukan oleh usia, berat badan, laus permukaan tubuh, atau kombinasi factor – factor ini.
Usia dapat menyebabkan perubahan efek farmakologik ekstrem dibandingkan dengan golongan usia lain. Semisal, pada neonatus dan bayi prematur fungsi farmakokinetik tubuh belum berlangsung dengan baik (misalnya b iotransfrmasi hati, eksrekgi ginjal, ikatan protein plasma, dan sawar darah-otak dan sawar kulit). Hal ini menyebabkan peningkatan kadar obat dalam darah dan jaringan. Pemberian obat heksaklorofen topical pada neonatus, misalnya, menyebabkan respons neourotoksisitas akibat belum terbentuknya sawar kulit secara sempurna. Kloramfenikol dapat menyebabkan sindrom bayi abu-abu akibat metabolism obat oleh hepar masih rendah (glukuronidasi) serta filtrasi obat oleh glomerulus ginjal belum berlangsung dengan sempurna.
Pada usia lanjut efek ini juga terjadi. Fungsi ginjal yang melemah merupakan penyebab perubahan farmakokinetik yang terbesar. Peningkatan sensitivitas reseptor (terutama di otak) juga menjadi andil dalam konteks ini. Contohnya adalah penggunaan isoniazid yang dapat menyebabkan hepatotoksisitas akibat melemahnya metabolism oleh hepar. Demikian juga penggunaan antikolinergik dapat menimbulkan respons konstipasi akibat melemahnya kontraktilitas otot polos.
Kondisi Patologik
Terjadinya kondisi patologik terutama pada organ-organ yang banyak melakukan efek farmakokinetik terhadap obat, misalnya penyakit saluran cerna, hepar, ren, dan kardiovaskuler, mengubah respons tubuh terhadap obat. Penyakit saluran cerna dapat mengurangi kecepatan absorbsi obat, khususnya pada pemberian per oral. Penyakit kardiovaskular mengurangi distribusi obat dan aliran darah ke hepar dan ginjal yang akan mengeliminasi obat. Penyakit hepar melemahkan metabolime obat di hati. Gangguan ginjal mengurangi eksreksi obat aktif maujpun metabolitnya melalui ginjal.
Contohnya, diare atau gastroenteritis menurunkan respons tubuh terhadap obat digoksin, kontrasepsi oral, fenitoin, dan sediaan salut enterik. Ini diakbiatkan waktu transit dalam saluran cerna yang memendek akibat terjadinya motilitas tinggi (akibat diare), sehingga jumlah obat yang diabsorbsi menjadi berkurang.
Faktor Genetik
Efek farmakologis yang berbeda-beda, yang diakibatkan oleh adanya kaitan faktor genetik dipelajari secara khusus melalui farmakogenetik. Farmakogenetik adalah studi tentang variasi respons obat akibat factor genetik. Farmakogenetik perlu dibedakan dari overdosis, reaksi alergi, dan inborn error of metabolism. Inborn error of metabolism adalah kelainan genetik yang mengakibatnya kelainan pengolahan zat tertentu sehingga terjadi akumulasi dalam sel. Sementara itu, farmakogenetik mempelajari tentang adanya perbedaan respons individu terhadap suatu obat.
Dari aspek farmakokinetik, farmakogenetik banyak memengaruhi sisi biotransformasi (metabolisme) obat. Selain biotransformasi (metabolisme), farmakokinetik juga melibatkan proses absorpsi, distribusi, dan ekskresi. Metabolisme obat terutama terjadi di sel-sel hati (mikrosom = retikulum endoplasma hati), serta di sitosol. Selain hati, dinding usus, ginjal, paru, darah, otak, dan kulit juga menjadi tempat biotransformasi obat.
Faktor Toleransi
Toleransi merupakan penurunan efek farmakologik akibat pemberian yang berulang. Toleransi ini terbagi menjadi toleransi farmakokinetik, yang terjadi akibat obat meningkatkan metabolismenya sendiri (dikarenakan obat merupakan self inducer bagi proses metabolism dirinya sendiri); dan toleransi farmakodinamik, akibat terjadi adaptasi sel dan reseptor terhadap ligan (obat) yang terus menerus berada di sekitar sel tersebut berada. Sensitifitas reseptor-reseptor ini umumnya menurun di tengah kelimpahan ligan. Jumlah ligan yang berikatan tidak berkurang, namun sensitiiftas reseptor berkurang sehingga efek farmakologis
yang ditimbulkan juga berkurang.
Faktor Interaksi Obat
Obat dapat berinteraksi dengan zat – zat makanan, zat kimia, bahkan dengan obat lain. Oleh karena itu perlu diperhatikan adanya efek (yang mungkin menguntungkan, atau malah merugikan) akibat interaksi ini. Interaksi yang menguntungkan misalnya penggunaan kombinasi obat antihipertensi, antiasma, dan antidiabetik yang dapat meningkatkan efektivitas dan mengurangi efek samping; kombinasi obat anti-HIV dan anti-kanker. Interaksi yang merugikan akan mendapatkan bahasan yang lebih mendalam.
Interaksi yang dapat terjadi adalah:
  • Interaksi farmakokinetik – jika salah satu obat memengaruhi absorpsi, distribusi, biotransformasi (metabolisme), dan ekskresi obat yang lain. Ini dapat mengakibatkan kadar plasma obat lain menurun atau justru meningkat. Akibatnya, toksisitas dapat terjadi, atau mungkin penurunan efektivitas obat tersebut.
  • Interaksi absorpsi: penggunaan obat antasida dapat mengubah pH, sehingga mengakibatkan kelarutan obat-obat asam (seperti aspirin) menjadi menigkat, sehingga meninkatkan absorpsi obat-obat ini.
  • Interaksi distrbusi: banyak obat yang memerlukan protein plasma sebagai sarana transport obat tersebut. Adanya obat lain mengakibatkan terjadinya “kompetisi” untuk memperebutkan protein plasma.
  • Interaksi metabolisme: sebagai contoh obat-obat yang merupakan substrat enzim sitokrom dapat mengalami gangguan metabolisme apabila terdapat enzim yang mencegah kerja enzim sitokrom (contohnya: untuk enzim CYP3A4, sakuinavir, obat yang digunakan dalam terapi penderita HIV, seharusnya dimetabolisme oleh enzim ini, namun keberadaan ritonavir secara bersama-sama menghambat kerja enzim ini sehingga terjadi peningkatan kadar sakuinavir, sehingga dosis untuk sakuinavir harus diturunkan untuk mencegah penumpukan sakuinavir).
  • Interaksi ekskresi: terdapat berbagai golongan obat yang bisa menyebabkan kerusakan ginjal (misalnya: aminoglikosida merusak ginjal, menyebabkan peningkatan kadar digoksin yang toksik); adanya kompetisi untuk sekresi aktif di tubulus ginjal; atau adanya perubahan pH urin (misal: obat yang dapat mengasamkan urin meningkatkan ionisasi obat lain yang bersifat basa, dan meningkatkan ekskresi obat yang bersifat basa ini).
  • Interaksi farmakodinamik – merupakan suatu interaksi antara obat yang bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja, atau sistem fisiologik yang sama. Interaksi ini bisa menimbuolkan efek yang sinergistik, atau antagonistik. Interaksi farmakodinamik ini biasanya dapat diramalkan (misalnya: pengelompokan obat antihipertensi yang dapat saling sinergik menurunkan tekanan darah).
  • Interaksi pada reseptor: misalnya asetilkolin yang bekerja pada reseptor kolinergik (muskarinik) sebagai agonis; sementara adanya atropine, kuinidin, dan antihistamin H1 sebagai antagonis untuk reseptor yang sama.
  • Interaksi fisiologik: merupakan interaksi pada sistem fisiologik yang sama, sehingga dapat mengakibatkan peningkatan atau penurunan respons. Misalnya penggunaan antidiabetes (bekerja pada sistem endokrin) dengan tiazid atau kortikosteroid (juga bekerja pada sistem endokrin) dapat menurunkan efek antidiabetik. Demikian juga penggunaan obat _-bloker dengan verapamil dapat menyebabkan gagal jantung dan bradikardia.

Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik terjadi di mana efek dari satu obat yang diubah oleh kehadiran obat lain di tempat kerjanya. Kadang-kadang obat secara langsung bersaing untuk reseptor tertentu (misalnya agonis beta2, seperti salbutamol, dan beta blockers, seperti propranolol) tetapi sering reaksi yang lebih langsung dan melibatkan gangguan fisiologis mekanisme (Stockley, 2008).
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang aditif, sinergistik atau antagonistik, tanpa terjadi perubahan kadar obat dalam plasma (Setiawati, 2007). Hal ini terjadi karena kompetisi pada reseptor yang sama atau interaksi obat pada sistem fisiologi yang sama. Interaksi jenis ini tidak mudah dikelompokkan seperti interaksi-interaksi yang mempengaruhi konsentrasi obat dalam tubuh, tetapi terjadinya interaksi tersebut lebih mudah diperkirakan dari efek farmakologi obat yang dipengaruhi (Fradgley, 2003)
Beberapa mekanisme interaksi obat dengan farmakodinamika mungkin terjadi bersama-sama, antara lain :
  • Sinergisme
Interaksi farmakodinamik yang paling umum terjadi adalah sinergisme antara dua obat yang bekerja pada sistem, organ, sel, enzim yang sama dengan efek farmakologi yang sama. Semua obat yang mempunyai fungsi depresi pada susunan saraf pusat- sebagai contoh, etanol, antihistamin, benzodiazepin (diazepam, lorazepam, prazepam, estazolam, bromazepam, alprazolam), fenotiazin (klorpromazina, tioridazina, flufenazina, perfenazina, proklorperazina, trifluoperazina), metildopa, klonidina- dapat meningkatkan efek sedasi.
Semua obat antiinflamasi non steroid dapat mengurangi daya lekat platelet dan dapat meningkatkan (pada derajat peningkatan yang tidak sama) efek antikoagulan. Suplemen kalium dapat menyebabkan hiperkalemia yang sangat berbahaya bagi pasien yang memperoleh pengobatan dengan diuretik hemat kalium (contoh amilorida, triamteren), dan penghambat enzim pengkonversi angiotensin (contoh kaptopril, enalapril) dan antagonis reseptor angiotensin-II (contoh losartan, valsartan). Dengan cara yang sama verapamil dan propanolol (dan pengeblok beta yang lain), keduanya mempunyai efek inotropik negatif, dapat menimbulkan gagal jantung pada pasien yang rentan.
  • Antagonisme
Antagonisme terjadi bila obat yang berinteraksi memiliki efek farmakologi yang berlawanan. Hal ini mengakibatkan pengurangan hasil yang diinginkan dari satu atau lebih obat. Sebagai contoh, penggunaan secara bersamaan obat yang bersifat beta agonis dengan obat yang bersifat pemblok beta (Salbutamol untuk pengobatan asma dengan propanolol untuk pengobatan hipertensi, dapat menyebabkan bronkospasme); vitamin K dan warfarin; diuretika tiazid dan obat antidiabet.
Beberapa antibiotika tertentu berinteraksi dengan mekanisme antagonis. Sebagai contoh, bakterisida seperti penisilin, yang menghambat sintesa dinding sel bakteri, memerlukan sel yang terus bertumbuh dan membelah diri agar berkhasiat maksimal. Situasi ini tidak akan terjadi dengan adanya antibiotika yang berkhasiat bakteriostatik, seperti tetrasiklin yang menghambat sintesa protein dan juga pertumbuhan bakteri.
  • Efek reseptor tidak langsung

Kombinasi obat dapat bekerja melalui mekanisme saling mempengaruhi efek reseptor yang meliputi sirkulasi kendali di fisiologis dan biokimia. Pengeblok beta non selektif seperti propanolol dapat memperpanjang lamanya kondisi hipoglikemi pada pasien diabet yang diobati dengan insulin dengan menghambat mekanisme kompensasi pemecahan glikogen. Respon kompesasi ini diperantarai oleh reseptor beta Z namun obat kardioselektif seperti atenolol lebih jarang menimbulkan respon hipoglikemi apabila digunakan bersama dengan insulin. Lagipula obat-obat pengeblok beta mempunyai efek simpatik seperti takikardia dan tremor yang dapat menutupi tanda-tanda bahaya hipoglikemi, efek simpatik ini lebih penting dibandingkan dengan akibat interaksi obat pada mekanisme kompensasi di atas.
  • Gangguan cairan dan elektrolit
Interaksi obat dapat terjadi akibat gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Pengurangan kadar kalium dalam plasma sesudah pengobatan dengan diuretik, kortikosteroid, atau amfoterisina akan meningkatkan resiko kardiotoksisitas digoksin. Hal yang sama, hipokalemia meningkatkan resiko aritmia ventrikuler dengan beberapa obat antiaritmia seperti sotalol, kuinidin, prokainamida, dan amiodaron. Penghambat ACE mempunyai efek hemat kalium, sehingga pemakaiannya bersamaan dengan suplemen kalium atau diuretik hemat kalium dapat menyebabkan hiperkalemia yang berbahaya. Loop diuretik dapat meningkatkan konsentrasi obat-obat yang bersifat nefrotoksik seperti gentamisin dan sefaloridina dalam ginjal.

Farmakokinetik merupakan sebuah proses atau perjalanan suatu obat di dalam tubuh organisme berupa absorpsi, distribusi, metabolisme (biotransformasi), dan ekskresi.

[Proses Mekanisme Obat]
Untuk dapat memberikan efek yang diinginkan, suatu obat harus dapat mencapai tempatnya bekerja. Seperti halnya kerja antibiotik terhadap pengobatan infeksi ginjal. Maka antibiotik harus dapat mencapai ginjal (tempatnya bekerja) agar dapat membunuh bakteri yang menginfeksi ginjal sehingga memberikan efek teraupetik pada penyakit terkait. Setelah obat bekerja di dalam tubuh sehingga menimbulkan efek, selanjutnya obat akan diekskresikan. Ada beberapa tahapan yang perlu dilalui obat hingga proses pengeluaran obat oleh tubuh.

1) Absorpsi
Absorpsi merupakan proses penyerapan zat aktif obat oleh tubuh. Proses absorpsi ini sangat penting dalam menentukan efek obat. Hanya zat aktif yang berada dalam keadaan larut yang dapat diabsorpsi oleh tubuh. Setelah zat aktif terlarut dalam pencernaan, zat tersebut selanjutnya akan di absorpsi melalui usus dan kemudian memasuki pembuluh darah. Terdapat banyak mekanisme absorpsi obat melalui usus, anatara lain filtrasi, difusi pasif, transpor aktif, transpor, difusi terfasilitasi, dan pinositosis (transfer pasangan ion). Sebagian besar obat diabsorpsi menggunakan mekanisme difusi pasif. Semua bentuk sediaan obat mengalami tahap absorpsi kecuali obat yang digunakan secara intravena karena obat langsung disuntikkan ke pembuluh darah sehingga obat tidak melalui tahap liberasi dan absorpsi. Efek yang diberikan obat intravena pun lebih cepat muncul. Proses absorpsi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor:
  • Kelarutan obat
  • Kemampuan berdifusi melalui membran sel
  • Sirkulasi pada letak absorpsi
  • Konsentrasi obat
  • Cara pemakaian obat
  • Bentuk sediaan obat
  • Luas permukaan kontak obat
2) Distribusi 
Proses penyaluran atau penyebaraan obat melalui pembuluh darah. Setelah berada di dalam pembuluh darah obat akan di sebarkan ke seluruh tubuhbersama aliran darah. Selanjutnya obat akan memasuki orga-organ tubuh. Pada tahap inilah obat mencapai tempat kerjanya dan dapat memberikan efek yang diharapkan.  
Beberapa senyawa obat melintasi plasenta atau tali pusat sehingga penggunaan obat-obatan pada ibu hamil perlu dipertimbangkan karena kemungkinan akan menimbulkan efek berbahaya pada janin. Bahkan dapat menimbulkan efek toksis yang berakibat kelahiran bayi cacat atau mati. Untuk penggunaan obat pada ibu hamil perlu bukti klinis yang menyatakan efektivitas obat tidak membahayakan pada janin.

3) Metabolisme
Proses detoksifikasi obat oleh tubuh. Di dalam tubuh obat dianggap sebagai benda asing karena secara normal kandungan senyawa obat tidak terdapat di dalam tubuh. Proses detoksifikasi obat perlu dilakukan oleh tubuh guna menurunkan kadar toksik/racun. Tubuh suatu organisme telah memiliki mekanisme alamiah untuk melakukan proses tersebut. Sebagian besar obat didetoksifikasi di hati oleh enzim-enzim mikrosomal hati. Proses tersebut menghasilkan senyawa dengan sifat toksik lebih rendah sehingga tidak terlalu beracun bagi tubuh organisme.
Beberapa kelompok obat masih tetap dalam bentuk aktif setelah didetoksifikasi hati sehingga memberikan efek yang diharapkan. Namun ada pula kelompok obat yang sudah tidak aktif lagi setelah didetoksifikasi hati. Untuk kelompok obat tersebut, pemberiannya secara intravena (disuntikkan ke pembuluh darah) guna menghindari proses detoksifikasi hati. obat tersebut akan langsung tersebar ke seluruh tubuh bersama aliran darah, baru kemudian mengalami detoksifikasi hati menjadi bentuk tidak aktif.
Untuk pemberian secara oral, obat akan memasuki hati terlebih dahulu karena pembuluh darah yang berasal dari usus akan menuju ke hati, baru tersebar ke seluruh tubuh. Tahap ini menyebabkan obat mengalami detoksifikasi terlebih dahulu sebelum mencapai tempat kerjanya. Jika terjadi demikian obat tidak memberikan efek maksimal karena sebagian kecil atau besar obat sudah berada dalam bentuk tidak aktif. 

4) Ekskresi
merupakan proses pengeluaran obat dari tubuh organisme terutama dilakukan oleh ginjal melalui urine. Selain organ ginjal obat diekskresikan lewat kulit (keringat), pernapasan (udara), kelenjar payudara (air susu), mata (air mata), dan saluran pencernaan (feses). Obat akan dikeluarkan dalam bentuk metabolit (bentuk asalnya).
Farmakoterapi adalah ilmu yang membahas mengenai penggunaan serta kedudukan obat dalam tatalaksana terapi suatu penyakit. Dalam mata kuliah ini, mahasiswa diajarkan bagaimana cara memilih obat berdasarkan jenis dan tanda-tanda penyakit. Jadi selain mempelajari mengenai obat-obatan (mulai dari bentuk sediaannya hingga farmakokinetika dan farmakodinamikanya), kami juga mempelajari mengenai berbagai penyakit (mulai definisi penyakit, prevalensi, patofisiologi, etiologi, diagnosis, tanda dan gejala, faktor resiko, penanganan non-farmakologi, penanganan farmakologi, hingga interaksi obat). Tujuan utama yang diharapkan dapat dicapai oleh apoteker setelah menguasai farmakoterapi adalah kemampuan untuk berkontribusi secara optimal dalam pengobatan pasien, terutama terkait dengan pemilihan obat yang paling tepat dan ekonomis. Farmakoterapi merupakan salah satu bagian dari ilmu dalam rumpun  ilmu farmakologi yang bisa dikatakan sebagai terapan atau ujung tombak dari semua ilmu dalam rumpun ilmu farmakologi itu sendiri.
 

Karena pada hakikatnya semua ilmu dalam rumpun ilmu farmakologi akan bermuara pada bagaimana obat dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup manusia, baik terkait dengan upaya mencegah, menyembuhkan penyakit, atau merubah fungsi fisiologis sistem tubuh manusia.  


Manfaat belajar farmakoterapi:
  • Membantu apoteker dalam memahami penggunaan obat pada penyakit tertentu
  • Apoteker mampu memilih obat yang tepat
  • Apoteker mampu memberikan informasi obat (Misalnya mengenai efek samping obat, kontraindikasi obat, interaksi obat dengan obat lain atau interaksi obat dengan makanan, dan sebagainya)
  • Apoteker mampu berinteraksi dengan dokter dan tenaga medis lainnya.
  • Apoteker membantu pasien melakukan self medication
Mata kuliah pendukung dalam mempelajari farmakoterapi diantaranya:
  • Farmakologi
  • Farmakokinetik
  • Patofisiologi
  • Mikrobiologi
  • Parasitologi
  • Virology
Bagaimana implementasi ilmu farmakoterapi?
Pertama, apoteker harus mengetahui secara jelas bagaimana penyakitnya dan harus menemukan diagnosis yang tepat. Sebelum memilih obat, sebaiknya apoteker menawarkan kepada pasien “terapi non-farmakologi” dengan melakukan modifikasi gaya hidup (misalnya dengan melakukan diet tertentu, olah raga tertentu, berhenti merokok dan berhenti mengkonsumsi alkohol, dan lain-lain). Modifikasi gaya hidup dilakukan tergantung dengan tipe dan jenis penyakit pasien. Jika terapi non-farmakologi tidak berhasil, lakukan tahap selanjutnya yaitu terapi farmakologi (terapi dengan menggunakan obat). Terapi farmakologi dimulai dengan pemilihan obat yang tepat dan dengan dosis rendah dan dalam waktu sesingkat mungkin (tetapi harus tetap memberikan efek terapi). Pemilihan obat berdasarkan gejala-gejala yang dirasakan oleh penyakit dan harus menggunakan obat yang sudah terbukti melalui uji klinis. Penggunaan obat baru dilakukan jika obat baru memiliki kelebihan secara signifikan dibandingkan obat lama (new is not always better, remember?).
Hal yang harus diperhatikan adalah lama terapi obat (menentukan efikasi dan efek samping), interaksi obat dengan obat lain, interaksi obat dengan penyakit, interaksi obat dengan makanan, dan lain-lain. Selain itu, regimen obat sebaiknya dibuat sederhana untuk mempermudah pasien. Kegagalan terapi dapat disebabkan oleh seleksi obat tidak memadai, kesalahan penggunaan dosis, munculnya penyakit lain, terjadi interaksi obat, adanya factor genetik dan faktor lingkungan, dan lain-lain.
                                                                                                                            PENDAHULUAN
            Keracunan akut terjadi lebih dari sejuta kasus dalam setiap tahun, meskipun hanya sedikit yang fatal. Sebagian kematian disebabkan oleh bunuh diri dengan mengkonsumsi obat secara overdosis oleh remaja maupun orang dewasa. Kematian pada anak akibat mengkonsumsi obat atau produk rumah tangga yang toksik telah berkurang secara nyata dalam 20 tahun terakhir, sebagai hasil dari kemasan yang aman dan pendidikan yang efektif untuk pencegahan keracunan.
            Keracunan tidak akan menjadi fatal jika korban mendapat perawatan medis yang cepat dan perawatan suportif yang baik. Pengelolaan yang tepat, baik dan hati-hati pada korban yang keracunan menjadi titik penting dalam menangani korban.

DEFINISI DAN ISTILAH DALAM TOKSIKOLOGI
Toksikologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang efek merugikan berbagai bahan kimia dan fisik pada semua sistem kehidupan. Dalam istilah kedokteran, toksikologi didefinisikan sebagai efek merugikan pada manusia akibat paparan bermacam obat dan unsur kimia lain serta penjelasan keamanan atau bahaya yang berkaitan dengan penggunaan obat dan bahan kimia tersebut. Toksikologi sendiri berhubungan dengan farmakologi, karena perbedaan fundamental hanya terletak pada penggunaan dosis yang besar dalam eksperimen toksikologi. Setiap zat kimia pada dasarnya adalah racun, dan terjadinya keracunan ditentukan oleh dosis dan cara pemberian.  Salah satu pernyataan Paracelsus menyebutkan “semua substansi adalah racun; tiada yang bukan racunDosis yang tepat membedakan racun dari obat”. Pada tahun 1564 Paracelsus telah meletakkan dasar penilaian toksikologis dengan mengatakan, bahwa dosis menentukan apakah suatu zat kimia adalah racun (dosis sola facit venenum). Pernyataan Paracelcus tersebut sampai saat ini masih relevan. Sekarang dikenal banyak faktor yang menyebabkan keracunan, namun dosis tetap merupakan faktor utama yang paling penting.
Toksisitas merupakan istilah dalam toksikologi yang didefinisikan sebagai kemampuan bahan kimia untuk menyebabkan kerusakan/injuri. Istilah toksisitas merupakan istilah kualitatif, terjadi atau tidak terjadinya kerusakan tergantung pada jumlah unsur kimia yang terabsopsi. Sedangkan istilah bahaya (hazard) adalah kemungkinan kejadian kerusakan pada suatu situasi atau tempat tertentu; kondisi penggunaan dan kondisi paparan menjadi pertimbangan utama. Untuk menentukan bahaya, perlu diketahui dengan baik sifat bawaan toksisitas unsur dan besar paparan yang diterima individu.  Manusia dapat dengan aman menggunakan unsur berpotensi toksik jika menaati kondisi yang dibuat guna meminimalkan absopsi unsur tersebut. Risiko didefinisikan sebagai kekerapan kejadian yang diprediksi dari suatu efek yang tidak diinginkan akibat paparan berbagai bahan kimia atau fisik.
Istilah toksikokinetik merujuk pada absopsi, distribusi, ekskresi dan metabolisme toksin, dosis toksin dari bahan terapeutik dan berbagai metabolitnya. Sedangkan istilah toksikodinamik digunakan untuk merujuk berbagai efek kerusakan unsur tersebut pada fungsi fital.


ETIOLOGI
            Pada dasarnya tidak ada batas yang tegas tentang penyebab dari keracunan berbagai macam obat dan zat kimia, karena praktis setiap zat kimia mungkin menjadi penyebabnya. Secara ringkas klasifikasi keracunan sebagai berikut:
  • Menurut cara terjadinya
    1. Self poisoning
Pada keadaan ini pasien makan obat dengan dosis berlebihan tetapi dengan pengetahuan bahwa dosis ini tidak membahayakan. Self poisoning biasanya terjadi karena kekurang hati-hatian dalam penggunaan. Kasus ini bisa terjadi pada remaja yang ingin coba-coba menggunakan obat, tanpa disadari bahwa tindakan ini dapat membahayakan dirinya.
    1. Attempted poisoning
Dalam kasus ini, pasien memang ingin bunuh diri, tetapi bisa berakhir dengan kematian atau pasien sembuh kembali karena salah tafsir dalam penggunaan dosis.
    1. Accidental poisoning
Kondisi ini jelas merupakan suatu kecelakaan tanpa adanya unsur kesengajaan sama sekali. Kasus ini banyak terjadi pada anak di bawah 5 tahun, karena kebiasaannya memasukkan segala benda ke dalam mulut.
    1. Homicidal piosoning
Keracunan ini terjadi akibat tindak kriminal yaitu seseorang dengan sengaja meracuni seseorang.
  • Menurut waktu terjadinya keracunan
    1. Keracunan  kronis
Diagnosis keracunan ini sulit dibuat, karena gejala timbul perlahan dan lama sesudah pajanan. Gejala dapat timbul secara akut setelah pemajanan berkali-kali dalam dosis yang relatif kecil.
    1. Keracunan akut
Keracunan jenis ini lebih mudah dipahami, karena biasanya terjadi secara mendadak setelah makan atau terkena sesuatu. Selain itu keracunan jenis ini biasanya terjadi pada banyak orang (misal keracunan makanan, dapat mengenai seluruh anggota keluarga atau bahkan seluruh warga kampung). Pada keracunan akut biasanya mempunyai gejala hampir sama dengan sindrom penyakit, oleh karena itu harus diingat adanya kemungkinan  keracunan  pada sakit mendadak.
  • Menurut alat tubuh yang terkena
Keracunan digolongkan menurut organ tubuh yang terkena, misal racun pada SSP, racun jantung, racun hati, racun ginjal dan sebagainya. Suatu organ cenderung dipengaruhi oleh banyak obat, sebaliknya jarang terdapat obat yang mempengaruhi /mengenai satu organ saja.
  • Menurut jenis bahan kimia
    1. Alkohol
    2. Fenol
    3. Logam berat
    4. Organofosfor
Pengklasifikasian bahan toksik yang menjadi penyebab keracunan adalah sebagai berikut:
  • Menurut keadaan fisik                        : gas, cair, debu
  • Menurut ketentuan label         : eksplosif, mudah terbakar, oksidizer
  • Menurut struktur kimiawi       : aromatik, halogenated, hidrokarbon, nitrosamin
  • Menurut potensi toksik           : super toksik, sangat toksik sekali, sangat toksik, toksik, agak  toksik

METODE KONTAK DENGAN RACUN
Jalur masuk bahan kimia ke dalam tubuh berbeda menurut situasi paparan.  Metode kontak dengan racun melalui cara berikut:
  • Tertelan
Efeknya bisa lokal pada saluran cerna dan bisa juga sistemik. Contoh kasus: overdosis obat, pestisida
  • Topikal (melalui kulit)
Efeknya iritasi lokal, tapi bisa berakibat keracunan sistemik. Kasus ini biasanya terjadi di tempat industri. Contoh: soda kaustik, pestida organofosfat
  • Topikal (melalui mata)
Efek spesifiknya pada mata dan bisa menyebabkan iritasi lokal. Contoh : asam dan basa, atropin
  • Inhalasi
Iritasi pada saluran nafas atas dan bawah, bisa berefek pada absopsi dan keracunan sistemik. Keracunan melalui inhalasi juga banyak terjadi di tempat-tempat industri.   Contoh : atropin, gas klorin, CO (karbon monoksida)
  • Injeksi
Efek sistemik, iritasi lokal dan bisa menyebabkan nekrosis. Masuk ke dalam tubuh bisa melalui intravena, intramuskular, intrakutan maupun intradermal.

EFEK TOKSIK
            Penilaian keamanan suatu obat atau zat kimia merupakan bagian penting dalam toksikologi, karena setiap zat kimia yang baru akan digunakan harus diuji toksisitas dan keamanannya.  Seabelum suatu obat dapat digunakan untuk indikasi tertentu, harus diketahui dulu efek apa yang akan terjadi terhadap semua organ tubuh yang sehat. Jarang obat yang hanya mempunyai satu jenis efek, hampir semua obat mempunyai efek tambahan dan mampu mempengaruhi berbagai macam organ dan fungsi fital. Efek yang menonjol, biasanya merupakan pegangan dalam menentukan penggunaan, sedangkan perubahan lain merupakan efek samping yang bahkan bisa menyebabkan toksik. Biasanya reaksi toksik merupakan kelanjutan dari efek farmakodinamik.  Karena itu, gejala toksik merupakan efek farmakodinamik yang berlebihan.
            Reaksi toksik berbeda secara kualitatif, tergantung durasi paparan. Paparan tunggal atau paparan berulang yang berlangsung kurang dari 14 hari disebut paparan akut. Paparan yang terjadi kurang dari 14 hari merupakan paparan sub-akut. Paparan sub-kronis bila terpapar selama 3 bulan dan disebut paparan kronis bila terpapar secara terus-menerus selama lebih dari 90 hari. Efek toksik pada paparan kronis dapat tidak dikenali sampai setelah paparan terjadi berulang kali.
            Kemunculan efek toksik sesudah paparan akut dapat terjadi secara cepat maupun terjadi setelah interval tertentu. Efek yang seperti ini disebut sebagai delayed toxicity (toksisitas tertunda). Adapun efek berbahaya yang timbul akibat kontak dengan konsentrasi rendah bahan kimia dalam jangka waktu lama disebut low level, long term-exposure (paparan jangka lama, tingkat rendah). Efek berbahaya, baik akibat paparan akut maupun kronis, dapat bersifat reversibel maupun ireversibel. Riversibilitas relatif efek toksik tergantung daya sembuh organ yang terkena.
            Manusia bisa melakukan kontak dengan beberapa bahan kimia berbeda secara bersamaan ataupun sekuensial. Efek biologis akibat paparan campuran beberapa bahan dapat digolongkan sebagai adiktif, sinergitik, potensiasi, antagonistik dan toleransi.  Pada  potensiasi, satu dari dua bahan tidak menimbulkan toksik, namun ketika terjadi paparan kedua bahan tersebut, efek toksik dari bahan yang aktif akan meningkat. Kondisi sinergistik dua bahan yang mempunyai sifat toksik sama atau salah satu bahan memperkuat bahan yang lain, maka efek toksik yang dihasilkan lebih bahaya. Antagonistik merupakan dua bahan toksik yang mempunyai kerja berlawanan, toksik yang dihasilkan rendah/ringan. Toleransi merupakan keadaan yang ditandai oleh menurunnya reaksi terhadap efek toksik suatu bahan kimia tertentu.  Biasanya efek toksik campuran bahan kimia bersifat aditif.

INDEK TERAPEUTIK
            Indek terapeutik adalah rasio antara dosis toksik dan dosis efektif. Indek ini menggambarkan keamanan relatif sebuah obat pada pengunaan biasa.  Indeks terapeutik suatu dosis diperlukan, karena terapi yang dijalankan dapat menimbulkan efek. Diperkirakan sebagai rasio LD 50 (dosis letal pada 50 % kasus) terhadap ED 50 (dosis efektif pada 50% kasus). Dalam praktik, sebuah substansi dikatakan memiliki indeks terapeutik “tinggi” atau “rendah”. Penggunaan terapi obat sebaiknya mempunyai ED yang lebih besar daripada LD. Obat yang mempunyai indek terapeutik lebar biasanya tidak memerlukan pemantauan obat terapeutik. Pemantauan obat terapeutik biasanya dilakukan pada obat yang mempunyai indek terapeutik sempit. Tujuan dari pemantauan obat terapeutik adalah:
  • Mengevaluasi kepatuhan klien terhadap terapi yang diberikan
  • Untuk mengetahui apakah obat lain sudah mengubah konsentrasi obat
  • Untuk menentukan respon tidak efektif terhadap obat tertentu
  • Untuk menentukan kadar obat dalam serum apabila dosis obat diubah.
            Setiap zat kimia, bila diberikan dengan dosis yang cukup besar akan menimbulkan gejala-gejala toksis. Gejala-gejala ini pertama-tama harus ditentukan pada hewan coba melalui penelitian  toksisitas akut dan subkronik. Penelitian toksisitas akut diutamakan untuk mencari efek toksik, sedangkan penelitian toksisitas kronik untuk menguji keamanan obat.  Penilaian keamanan obat dapat dilalukan melalui tahapan berikut:
  • Menentukan LD 50
  • Melakukan percobaan toksisitas akut dan kronik untuk menentukan no effect level
  • Melakukan percobaan karsinogenisitas, teratogenesis dan mutagenisitas.

PENATALAKSANAAN DAN IMPLIKASI KEPERAWATAN
            Orang sering menghubungkan racun dengan antidotnya, padahal sebenarnya hanya ada sedikit antidot spesifik. Penanganan yang  tepat dan hati-hati akan mencegah kondisi korban menjadi lebih fatal. Seorang perawat dalam menangani kasus keracunan ini bisa berperan dalam proses pengkajian, perencanaan, implementasi sampai evaluasi. Pada pengelolaan pasien keracunan yang paling penting adalah penilaian klinis, meskipun sebab keracunan belum diketahui. Hal ini disebabkan karena pengobatan simtomatis sudah dapat dilakukan terhadap gejala-gejalanya. Diantaranya yang sangat penting pada permulaan keracunan adalah penilaian kesadaran dan respirasi. Kesadaran merupakan petunjuk penting tentang beratnya keracunan. Tingkat kesadaran dalam toksikologi dapat dibagi menjadi 4 tingkat, yaitu:
  • Tingkat I            : penderita ngantuk tapi mudah diajak bicara
  • Tingkat II        : penderita dalam keadaaan sopor, dapat dibangunkan dengan rangsang minimal, misalnya bicara keras-keras atau menggoyang lengan
  • Tingkat III      : penderita dalam keadaan  soporokoma, hanya dapat bereaksi dengan rangsang maksimal, yaitu dengan menggosok sternum dengan kepalan tangan.
  • Tingkat IV      : penderita dalam keadaan koma, tidak ada reaksi sedikitpun terhadap rangsang maksimal.
Rencana tindakan untuk pasien keracunan meliputi:
  • Stabilisasi
Perawatan pasien keracunan diarahkan untuk stabilisasi masalah-masalah mendesak jalan nafas yang mengancam hidup, pernafasan dan sirkulasi. Langkah-langkah stabilisasi adalah sebagai berikut:
    1. Kaji dan tangani jalan nafas
    2. Kaji dan kontrol perdarahan. Cegah dan tangani syok dengan pemberian produk darah jika perlu.
    3. Kaji terhadap adanya cidera yang berkaitan dengan proses penyakit lain
    4. Kaji, tetapkan, tangani status asam basa dan elektrolit.
    5. Kaji status jantung
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan singkat, dengan penekanan pada wilayah-wilayah yang mungkin memberi petunjuk ke arah diagnosis toksikologi, meliputi:
1.      Tanda-tanda vital
Evaluasi yang teliti terhadap tanda-tanda vital yang meliputi tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu dan tingkat kesadaran.
2.      Mata
Mata merupakan sumber informasi yang penting untuk toksikologis, karena beberapa kasus toksikologis menyebabkan perubahan pada mata. Tetapi dalam menentukan prognosis keracunan gejala ini tidak bisa dijadikan pegangan.
3.      Mulut
Mulut mungkin menunjukkan tanda-tanda terbakar yang disebabkan oleh unsur korosif atau mungkin menunjukkan bekas tertentu yang menjadi cirikas dari suatu bahan toksik.
4.      Kulit
Kulit sering menunjukkan adanya kemerahan atau keluar keringat yang berlebihan.
5.      Abdomen
Pemeriksaan abdomen bisa menunjukkan adanya ileus, bising usus yang hiperaktif, dan kejang abdomen. Perubahan bising usus biasanya menyertai perubahan tingkat kesadaran.  Pada kesadaran tingkat III biasanya bising usus negatif, dan pada tingkat IV selalu negatif, sehingga pemeriksaan ini bisa dipakai untuk mencocokkan tingkat kesadaran, misalnya pada orang yang bersimulasi.
6.      Sistem saraf
Seizure fokal atau defisit motorik menunjukkan adanya lesi struktural daripada toksik atau ensefalopati metabolik.
            Pada intinya penanganan awal pada kasus keracunan adalah menangani masalah ABC, bukan mencari penyebab keracunannya apa, baru setelah kondisi stabil dicari penyebab keracunan.
  • Riwayat umum
Setelah pasien berhasil distabilkan, upaya-upaya untuk mendapatkan riwayat pemajanan bisa dilakukan. Riwayat tersebut bisa diperoleh dari pasien sendiri, angota keluarga, teman-teman, para penyelamat dan  saksi. Hal terpenting adalah mengidentifikasi bahan toksik, jumlah dan waktu pemajanan, alergi atau penyakit yang mendasari, dan apakah tindakan pertolongan pertama yang telah dilakukan.
  • Identifikasi keberadaan sindrom toksik
Adanya sindrom toksik dapat membantu menegakkan diagnosa banding dengan mengusulkan berdasarkan kelas dari racun yang mungkin mengenai korban. Lima sindrom toksik yang sering muncul adalah sebagai berikut:
    1. Kolinergik
Gejala : tanda vital menurun, salivasi berlebihan, lakrimasi, urinasi, emesis dan diaforesis, depresi sistem saraf, bradikardi, kejang.
Penyebab : insektisida organofosfat dan karbamat, beberapa jamur
    1. Opiat/hipnotik sedatif
Gejala : TTV menurun, koma, depresi pernafasan, miosis, hipotensi, bradikardi, penurunan bising usus, edema pulmonal.
Penyebab : narkotik, benzodiazepam, barbiturat, etanol, klonidin
    1. Antikolinergik
Gejala : delirium, kering, ruam kulit, pupil melebar, suhu tinggi, retensi urine, bising usus menurun, takikardi, kejang
Penyebab ; antihistamin, atropin, agen antidepresan, beberapa tanaman jamur
    1. Simpatomimetik
Gejala : delusi, paranoia, takikardia, hipertensi, midriasis, kejang
Penyebab : kokain, teofilin, kafein, amfetamin, fenipropanolamin
    1. Gejala putus obat
Gejala : diare, midriasis, takikardia, halusinasi, kram
Penyebab : alkohol, barbiturat, narkotik, benzodiazepin

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kasus keracunan dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu:
  • Penatalaksanaan umum
  • Penatalaksanaan tingkat lanjut
Penatalakasanaan umum
Langkah ini termasuk tindakan pertolongan pertama yang diberikan untuk mencegah absopsi agen dan jika memungkinkan untuk menyingkirkan pemajanan berlanjut atau berulang.
Properti fisiokimia obat atau toksik, banyaknya, dan waktu pemajanan dapat menentukan tipe dan beratnya dekontaminasi. Dekontaminasi melibatkan pengeluaran toksik dari kulit, saluran cerna, inhalasi, dan okular.
  • Pemajanan okuler
Dalam kasus ini , dekontaminasi dicapai dengan pengaliran  air suam-suam kuku atau normal saline segera setelah pemajanan. Menggunakan gelas besar atau mandi pancur bertekanan rendah, mata akan terus-menerus tergenangi selama 15 sampai 30 menit sambil mengedip mata, memejam dan membuka mata. Jika gejala dari iritasi okuler belum mereda setelah dilakukan dekontaminasi, maka diperlukan pemeriksaan mata lanjutan.
  • Pemajanan dermal
Setelah melepas pakaian yang terkontaminasi, dekontaminasi kulit dilakukan dengan merendam kulit dalam air suam-suam kuku selama 15 sampai 30 menit dan kemudian secara lembut mulai membersihkan bagian yang terkontaminasi dengan air dan sabun, membilas dengan menyeluruh. Kasus penyerapan toksin secara dermal, pemberi perawatan kesehatan dapat berisiko terhadap toksisitas jika terjadi kontaminasi dermal sementara membantu korban untuk dekontaminasi. Netralisasi asam basa pada kulit dianjurkan untuk pemberi perawatan.
  • Pemajanan inhalasi
Langkah pertama yang dilakukan adalah memindahkan korban ke tempat yang udaranya segar sambil memastikan bahwa penolong tidak terpajan toksik yang menyebar di udara. Jalan nafas yang paten harus dibuat dan status pernafaasan dikaji. Pernafasan buatan diperlukan jika korban tidak bernafas spontan.
  • Ingesti
Dilusi dengan susu dan air dilakukan pada menelan  iritan atau kaustik. Pada orang dewasa dapat didilusi dengan satu gelas susu atau air, sedangkan pada anak-anak dapat diberikan 2 sampai 8 ons cairan, berdasarkan pada ukurannya.

Penatalaksaanaan Tingkat Lanjut
Langkah ini mengacu pada modalitas tindakan yang khusus, yang dapat mencakup langkah-langkah pencegahan lebih lanjut terhadap absorpsi, peningkatan eliminasi, pemantauan pasien, pemberian antidotum, dan perawatan simtomatik dan suportif. Cara ini meliputi:
  • Emetik
Merupakan tindakan mengeluarkan kembali obat atau toksik yang tertelan dengan merangsang muntah. Pada umumnya tindakan ini dilakukan dalam 4 jam setelah kejadian, lebih cepat lebih baik. Muntah yang ditimbulkan tidak akan mengosongkan lambung seluruhnya, hanya sekitar 30 % isi lambung yang dapat dikeluarkan. Biasanya emetik yang digunakan adalah sirup ipecac. Sirup ini harus diberikan sesegera mungkin setelah ingesti (dalam 30 menit) dan diikuti dengan air dan meningkatkan aktivitas fisik pasien. Jika dosis awal gagal untuk mendapatkan hasil dalam waktu 20 sampai 30 menit, dapat diulang satu kali dengan dosis sama. Apabila emesis sudah selesai, tunda makan minum selama satu sampai dua jam untuk menenangkan lambung.
Kontraindikasi untuk tindakan emesis:
    1. Depresi status mental
    2. Tidak ada reflek muntah
    3. Kejang
    4. Ingesti  agen yang dapat menimbulkan serangan depresi pada SSP
    5. Agen kaustik yang tertelan telah dicerna
    6. Setelah menelan substansi korosif
    7. Setelah minum turunan petrolium
  • Lavage lambung
Merupakan metode alternatif yang umum untuk pengosongan lambung, dimana cairan seperti normal saline dimasukkan ke dalam lambung melalui orogastrik atau nasogastrik dengan diameter besar dan kemudian dibuang dalam upaya untuk membuang bagian agen yang mengandung toksik.
Indikasi lavage lambung adalah:
1.      Depresi status mental
2.      Tidak ada reflek muntah
3.      Gagal dengan terapi emesis
4.      Pasien dalam keadaan sadar
Kontraindikasi lavage lambung:
1.      Ingesti kaustik
2.      Kejang yang tidak terkontrol
Untuk tindakan ini pasien dibaringkan dalam posisi dekubitus lateral sebelah kiri, dengan bagian kepala lebih rendah daripada kaki. Masukkan cairan 150 sampai 200 ml air atau saline (pada anak 50 sampai 100 ml) ke dalam lambung. Prosedur ini diulang sampai keluar cairan yang jernih atau sedikitnya menggunakan 2 liter air. Intubasi nasotrakeal atau endotrakeal diperlukan untuk melindungi jalan udara. Prosedur ini dilakukan 4 jam setelah obat ditelan.
Komplikasi lavage lambung:
1.      Perforasi esofagus
2.      Aspirasi pulmonal
3.      Ketidakseimbangan elektrolit
4.      Tensi pneumothorak
5.      Hipotermia pada anak-anak bila menggunakan lavage yang dingin
  • Adsorben
Adsorben merupakan bahan padat yang mempunyai kemampuan menarik dan menahan pada permukaannya bahan lainnya. Pasien diberi karbon aktif yang berupa bubur ditambah air, yang komposisinya terdiri atas karbon aktif 1 bagian dengan 8 bagian air (1:8) sampai 1:10. karena ikatan karbon-toksik lemah, maka harus segera dikeluarkan dari saluran cerna dengan menggunakan laksatif. Penggunaan adsorben harus hati-hati pada pasien dengan bising usus rendah, dan menjadi kontraindikasi untuk pasien dengan gangguan usus.
  • Katartik
Pemberian agen katartik dapat mempercepat eliminasi toksin dari saluran cerna dan mengurangi absorpsi. Katartik diberikan per oral atau dengan selang nasogastrik pada semua kasus keracunan di mana arang obat dianjurkan, kecuali pada anak kecil. Pada anak-anak kurang dari 1 tahun, katartik tidak diberikan untuk menghindari dehidrasi.
  • Peningkatan eliminasi
Setelah prosedur diagnostik dan dekontaminasi serta pemberian antidot dilakukan dengan tepat, penting untuk mempertimbangkan langkah peningkatan eliminasi, seperti diuresis paksa, dialisis atau tranfusi tukar.
Diuresis paksa adalah tindakan memberi caairan parenteral dalam jumlah besar (0,5-1,5 liter sejam) untuk mempercepat ekskresi obat melalui ginjal. Syarat diuresis paksa adalah sebagai berikut:
1.      Keracunan harus berat
2.      Obat harus larut dalam air
3.      Berat molekul obat kecil
4.      Obat tidak diikat oleh protein maupun lemak
5.      Obat tidak dikumulasi dalam suatu rongga atau organ tubuh
6.      Obat tidak diekskresi lebih cepat melalui jalan lain, misal paru atau usus.
Tindakan ini mudah dilakukan tetapi mengandung bahaya yang tidak boleh diabaikan karena itu hanya dilakukan bila ada indikasi yang baik dan memenuhi syarat-syaratnya. Kontraindikasi untuk diuresis paksa adalah:
1.      Gagal jantung
2.      Insufisiensi ginjal
3.      Syok
Semula diuresis paksa sangat populer, tetapi karena tidak terbukti manfaatnya, cara ini jarang digunakan, karena bisa mengakibatkan ketidaknormalan elektrolit.
Hemodialisis merupakan proses perubahan komposisi terlarut darah dengan difusi menembus dinding semipermiabel antara darah dan larutan garam. Metode ini digunakan bila metode konservatif tidak berhasil. Sedangkan hemoperfusi adalah metode pembuangan obat dan toksin dari darah, dengan memompakan darah melewati  bahan adsorben dan kemudian disirkulasikan kembali ke dalam tubuh pasien. Antikoagulasi seperti heparin diperlukan untuk mencegah pembekuan darah. Tranfusi tukar merupakan  pembuangan bagian darah pasien dan menggantikan dengan darah lengkap yang segar,  cara terakhir ini sangat jarang dilakukan.

Pemantauan Pasien Keracunan
Pasien yang keracunan akan memerlukan pemantauan kontinue selama berjam-jam atau berhari-hari setelah pemajanan. Peralatan diagnostik serta tanda-tanda gejala akan memberikan informasi tentang perkembangan pasien dan arah pengobatan serta penatalaksanaan keperawatan. Poemantauan toksikologi meliputi:
  1. Elektrokardiografi
EKG dapat memberikan bukti-bukti dari obat-obat yang menyebabkan penundaan disritmia atau konduksi.
  1. Radiologi
Banyak substansi adalah radioopak, dan cara ini juga untuk menunjukkan adanya aspirasi dan edema pulmonal.
  1. Analisa Gas Darah, elektrolit dan pemeriksaan laboratorium lain
Keracunan akut dapat mengakibatkan ketidakseimbangan kadar elektrolit, termasuk natrium, kalium, klorida, magnesium dan kalsium. Tanda-tanda oksigenasi yang tidak adequat juga sering muncul, seperti sianosis, takikardia, hipoventilasi, dan perubahan status mental.
  1. Tes fungsi ginjal
Beberapa toksik mempunyai efek nefrotoksik secara lengsung.
  1. Skrin toksikologi
Cara ini membantu dalam mendiagnosis pasien yang keracunan. Skrin negatif tidak berarti bahwa pasien tidak keracunan, tapi mungkin racun yang ingin dilihat tidak ada. Adalah penting untuk mengetahui toksin apa saja yang bisa diskrin secara rutin di dalam laboratorium, sehingga pemeriksaannya bisa efektif.



BEBERAPA CONTOH ANTIDOTUM
Antidotum merupakan ramuan/obat untuk melawan atau menawarkan kerja racun. Berikut ini adalah contoh beberapa antidotum yang ada:
TOKSIN
ANTIDOTUM
Opiat
Metanol, etilen glikol
Antikolinergik
Organofosfat/insektisida karbamat
Beta bloker
Digitalis, glikosida
Benzodiazepin
Karbon monoksida
Nitrit
Asetaminofen
Cianida


Penghambat saluran kalsium
Nalokson
Etanol
Fisostigmin
Atropin, piridoksin
Glukagon
Digoksin-fragmen antibodi tertentu
Flumazenil
Oksigen
Metilen biru
N-asetilsistein
Amil nitrit
Natrium nitrit
Natrium tiosulfat
Kalsium glukonat