FARMAKODINAMIKA

By 04.51

Farmakodinamika obat ialah salah satu subdisiplin farmakologi yang mempelajari tentang efek biokimiawi dan fisiologi obat, serta mekanisme kerjanya.
Farmakodinamika obat juga mempelajari cara kerja obat , efek obat terhadap fungsi berbagai organ, dan pengaruh obat terhadap reaksi biokimia dan struktur organ obat.
Dengan memahami farmakologi diharapkan diketahui bagaimana interaksi obat dengan sel dan bagaimana efek dan respons yang terjadi.
Farmakodinamik adalah subdisiplin farmakologi yang mempelajari efek biokimiawi dan fisiologi obat serta mekanisme kerjanya.
  1. Mekanisme kerja obat
Kebanyakan obat menimbulkan efek melalui interaksi dengan reseptornya pada sel organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimiawi dan fisiologi yang merupakan respon khas untuk obat tersebut.
  1. Reseptor Obat
  2. Transmisi sinyal biologis (Setiawati, 2007).

Mekanisme Kerja Obat
Mekanisme kerja obat pada umumnya melalui interaksi dengan reseptor pada sel organisme. Reseptor obat pada umumnya merupakan suatu makromolekul fungsional, yang pada umumnya juga bekerja sebagai suatu reseptor fisiologis bagi ligan-ligan endogen (semisal: hormon dan neurtransmiter). Interaksi obat dengan reseptor pada tubuh dapat mengubah kecepatan kegiatan fisiologis, namun tidak dapat menimbulkan fungsi faali yang baru.
Terdapat bermacam-macam reseptor dalam tubuh kita, misalnya reseptor hormon, faktor pertumbuhan, faktor transkripsi, neurotransmitter, enzim metabolik dan regulator (seperti dihidrofolat reduktase,asetilkolinesterase). Namun demikian, reseptor untuk obat pada umumnya merupakan reseptor yang berfungsi bagi ligan endogen (hormon dan neurotransmitter).2 Reseptor bagi ligan endogen seperti ini pada umumnya sangat spesifik (hanya mengenali satu struktur tertentu sebagai ligan).
Obat-obatan yang berinteraksi dengan reseptor fisiologis dan melakukan efek regulator seperti sinyal endogen ini dinamakan agonis. Ada obat yang juga berikatan dengan reseptor fisioloigs namun tanpa menghasilkan efek regulator dan menghambat kerja agonis (terjadi persaingan untuk menduduki situs agonis) disebut dengan istilah antagonis, atau disebut juga dengan bloker. Obat yang berikatan dengan reseptor dan hanya menimbulkan efek agonis sebagian tanpa memedulikan jumlah dan konsentrasi substrat disebut agonis parsial. Obat agonis-parsial bermanfaat untuk mengurangi efek maksimal agonis penuh, oleh karena itu disebut pula dengan istilah antagonis parsial. Sebaliknya, obat yang menempel dengan reseptor fisiologik dan justru menghasilkan efek berlawanan dengan agonis disebut agonis negatif.

Pembagian reseptor fisiologik adalah :
  • Reseptor enzim – mengandung protein permukaan kinase yang memfosforilasi protein efektor di membran plasma. Fosforilasi mengubah aktivitas biokimia protein tersebut. Selain kinase, siklase juga dapat mengubah aktivitas biokimia efektor. Tirosin kinase, tirosin fosfatase, serin / treonin kinase, dan guanil siklase berfungsi sebagai situs katalitik, dan berperan layaknya suatu enzim.
Contoh ligan untuk reseptor ini: insulin, epidergmal growth factor (EGF), platelet-derived growth factor (PDGF), atrial natriuretic factor (ANF), transforming growth factor-beta (TGF-β), dan sitokin.
  • Reseptor kanal ion – reseptor bagi beberapa neurotransmitter, sering disebut dengan istilah ligandgated ion channels atau receptor operated channels. Sinyal mengubah potensial membran sel dan komposisi ionik instraselular dan ekstraselular sekitar.
Contoh ligan untuk reseptor ini: nikotinik, γ-aminobutirat tipe A (GABAA), glutamat, aspartat, dan glisin.
  • Reseptor tekait Protein G – Protein G merupakan suatu protein regulator pengikatan GTP berbentuk heterotrimer. Protein G adalah penghantar sinyal dari reseptor di permukaan sel ke protein efektor.
Protein efektor Protein G antara lain adenilat siklase, fosfolipase C dan A2, fosfodiesterase, dan kanal ion yang terletak di membran plasma yang selektif untuk ion Ca2+ dan K+. Obat selain antibiotik pada umumnya bekerja dengan mekanisme ini.
Contoh ligan untuk reseptor ini: amina biogenik, eikosanoid, dan hormone – hormon peptida lain.
  • Reseptor faktor transkripsi – mengatur transkripsi gen tertentu. Terdapat daerah pengikatan dengan DNA (DNA binding domain) yang berinteraksi secara spesifik terhadap genom tertentu untuk mengaktifkan atau menghambat transkripsi.
Contoh ligan: hormon steroid, hormon tiroid, vitamin D, dan retinoid
  • Second Messenger pada sitoplasma – dalam transduksi sinyal memungkinkan terbentuknya caraka kedua (second messenger) yang bertindak sebagai sinyal lanjutan untuk jalur transduksin sinyal.
Ciri khas cara kedua adalah produksinya yang sangat cepat dengan konsentrasi yang rendah.
Setelah sinyal utama (first messenger) tidak ada, caraka kedua akan disingkarkan melalui proses daur ulang.
Contoh: AMP, siklik GMP, siklik ADP

Selain daripada reseptor, obat juga dapat bekerja tanpa melalui reseptor, misalnya obat yang mengikat molekul atau ion dalam tubuh. Contohnya penggunaan antasida sebagai penetral keasaman lambung yang berlebihan. 2-merkaptoetana sulfonat (mesna) meniadakan radikal bebas disaluran perkemihan. Obat lain juga berfungsi sebagai analog struktur normal tubuh yang bisa “bergabung” ke dalam sel sehingga mengganggu fungsi sel dan tubuh. Misalnya analog purin dan pirimidin yang dapat diinsersei ke dalam asam nukleat antivirus dan kemoterapi untuk kanker.

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Respons Tubuh terhadap Obat
Tubuh setiap orang berbeda-beda dalam hal menghasilkan respons untuk pemberian obat dengan dosis tertentu. Pemberian obat biasanya telah disepakati secara bersama oleh farmakolog dalam dosis biasa ( dosis rata-rata) yang cocok untuk sebagian besar pasien. Dosis rata – rata ini dapat menimbulkan efek toksik untuk beberapa orang. Sebaliknya dosis rata-rata juga dapat menimbulkan efek yang tidak teraupetik.
Bagan di bawah ni menunjukkan bagaimana perjalanan suatu obat hingga menimbulkan efek farmakologik (respons pasien terhadap obat tertentu).
Kepatuhan pasien menentukan jumlah obat yang diminum. Pemberian obat per oral yang diserap dengan bioavailabilitas obat itu. Sementara itu bioavailabilitas ditentukan oleh mutu obat. Faktor farmakokinetik menentukan berapa dari jumlah obat yang diminum dapat mencapai tempat kerja obat untuk bereaksi dengan reseptor. Sementara factor farmakodinamik menentukan intensitas efek farmakologis yang ditimbulkan oleh kadar obat.
Kondisi Fisiologis
Kondisi fisiologik ditentukan oleh usia, berat badan, laus permukaan tubuh, atau kombinasi factor – factor ini.
Usia dapat menyebabkan perubahan efek farmakologik ekstrem dibandingkan dengan golongan usia lain. Semisal, pada neonatus dan bayi prematur fungsi farmakokinetik tubuh belum berlangsung dengan baik (misalnya b iotransfrmasi hati, eksrekgi ginjal, ikatan protein plasma, dan sawar darah-otak dan sawar kulit). Hal ini menyebabkan peningkatan kadar obat dalam darah dan jaringan. Pemberian obat heksaklorofen topical pada neonatus, misalnya, menyebabkan respons neourotoksisitas akibat belum terbentuknya sawar kulit secara sempurna. Kloramfenikol dapat menyebabkan sindrom bayi abu-abu akibat metabolism obat oleh hepar masih rendah (glukuronidasi) serta filtrasi obat oleh glomerulus ginjal belum berlangsung dengan sempurna.
Pada usia lanjut efek ini juga terjadi. Fungsi ginjal yang melemah merupakan penyebab perubahan farmakokinetik yang terbesar. Peningkatan sensitivitas reseptor (terutama di otak) juga menjadi andil dalam konteks ini. Contohnya adalah penggunaan isoniazid yang dapat menyebabkan hepatotoksisitas akibat melemahnya metabolism oleh hepar. Demikian juga penggunaan antikolinergik dapat menimbulkan respons konstipasi akibat melemahnya kontraktilitas otot polos.
Kondisi Patologik
Terjadinya kondisi patologik terutama pada organ-organ yang banyak melakukan efek farmakokinetik terhadap obat, misalnya penyakit saluran cerna, hepar, ren, dan kardiovaskuler, mengubah respons tubuh terhadap obat. Penyakit saluran cerna dapat mengurangi kecepatan absorbsi obat, khususnya pada pemberian per oral. Penyakit kardiovaskular mengurangi distribusi obat dan aliran darah ke hepar dan ginjal yang akan mengeliminasi obat. Penyakit hepar melemahkan metabolime obat di hati. Gangguan ginjal mengurangi eksreksi obat aktif maujpun metabolitnya melalui ginjal.
Contohnya, diare atau gastroenteritis menurunkan respons tubuh terhadap obat digoksin, kontrasepsi oral, fenitoin, dan sediaan salut enterik. Ini diakbiatkan waktu transit dalam saluran cerna yang memendek akibat terjadinya motilitas tinggi (akibat diare), sehingga jumlah obat yang diabsorbsi menjadi berkurang.
Faktor Genetik
Efek farmakologis yang berbeda-beda, yang diakibatkan oleh adanya kaitan faktor genetik dipelajari secara khusus melalui farmakogenetik. Farmakogenetik adalah studi tentang variasi respons obat akibat factor genetik. Farmakogenetik perlu dibedakan dari overdosis, reaksi alergi, dan inborn error of metabolism. Inborn error of metabolism adalah kelainan genetik yang mengakibatnya kelainan pengolahan zat tertentu sehingga terjadi akumulasi dalam sel. Sementara itu, farmakogenetik mempelajari tentang adanya perbedaan respons individu terhadap suatu obat.
Dari aspek farmakokinetik, farmakogenetik banyak memengaruhi sisi biotransformasi (metabolisme) obat. Selain biotransformasi (metabolisme), farmakokinetik juga melibatkan proses absorpsi, distribusi, dan ekskresi. Metabolisme obat terutama terjadi di sel-sel hati (mikrosom = retikulum endoplasma hati), serta di sitosol. Selain hati, dinding usus, ginjal, paru, darah, otak, dan kulit juga menjadi tempat biotransformasi obat.
Faktor Toleransi
Toleransi merupakan penurunan efek farmakologik akibat pemberian yang berulang. Toleransi ini terbagi menjadi toleransi farmakokinetik, yang terjadi akibat obat meningkatkan metabolismenya sendiri (dikarenakan obat merupakan self inducer bagi proses metabolism dirinya sendiri); dan toleransi farmakodinamik, akibat terjadi adaptasi sel dan reseptor terhadap ligan (obat) yang terus menerus berada di sekitar sel tersebut berada. Sensitifitas reseptor-reseptor ini umumnya menurun di tengah kelimpahan ligan. Jumlah ligan yang berikatan tidak berkurang, namun sensitiiftas reseptor berkurang sehingga efek farmakologis
yang ditimbulkan juga berkurang.
Faktor Interaksi Obat
Obat dapat berinteraksi dengan zat – zat makanan, zat kimia, bahkan dengan obat lain. Oleh karena itu perlu diperhatikan adanya efek (yang mungkin menguntungkan, atau malah merugikan) akibat interaksi ini. Interaksi yang menguntungkan misalnya penggunaan kombinasi obat antihipertensi, antiasma, dan antidiabetik yang dapat meningkatkan efektivitas dan mengurangi efek samping; kombinasi obat anti-HIV dan anti-kanker. Interaksi yang merugikan akan mendapatkan bahasan yang lebih mendalam.
Interaksi yang dapat terjadi adalah:
  • Interaksi farmakokinetik – jika salah satu obat memengaruhi absorpsi, distribusi, biotransformasi (metabolisme), dan ekskresi obat yang lain. Ini dapat mengakibatkan kadar plasma obat lain menurun atau justru meningkat. Akibatnya, toksisitas dapat terjadi, atau mungkin penurunan efektivitas obat tersebut.
  • Interaksi absorpsi: penggunaan obat antasida dapat mengubah pH, sehingga mengakibatkan kelarutan obat-obat asam (seperti aspirin) menjadi menigkat, sehingga meninkatkan absorpsi obat-obat ini.
  • Interaksi distrbusi: banyak obat yang memerlukan protein plasma sebagai sarana transport obat tersebut. Adanya obat lain mengakibatkan terjadinya “kompetisi” untuk memperebutkan protein plasma.
  • Interaksi metabolisme: sebagai contoh obat-obat yang merupakan substrat enzim sitokrom dapat mengalami gangguan metabolisme apabila terdapat enzim yang mencegah kerja enzim sitokrom (contohnya: untuk enzim CYP3A4, sakuinavir, obat yang digunakan dalam terapi penderita HIV, seharusnya dimetabolisme oleh enzim ini, namun keberadaan ritonavir secara bersama-sama menghambat kerja enzim ini sehingga terjadi peningkatan kadar sakuinavir, sehingga dosis untuk sakuinavir harus diturunkan untuk mencegah penumpukan sakuinavir).
  • Interaksi ekskresi: terdapat berbagai golongan obat yang bisa menyebabkan kerusakan ginjal (misalnya: aminoglikosida merusak ginjal, menyebabkan peningkatan kadar digoksin yang toksik); adanya kompetisi untuk sekresi aktif di tubulus ginjal; atau adanya perubahan pH urin (misal: obat yang dapat mengasamkan urin meningkatkan ionisasi obat lain yang bersifat basa, dan meningkatkan ekskresi obat yang bersifat basa ini).
  • Interaksi farmakodinamik – merupakan suatu interaksi antara obat yang bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja, atau sistem fisiologik yang sama. Interaksi ini bisa menimbuolkan efek yang sinergistik, atau antagonistik. Interaksi farmakodinamik ini biasanya dapat diramalkan (misalnya: pengelompokan obat antihipertensi yang dapat saling sinergik menurunkan tekanan darah).
  • Interaksi pada reseptor: misalnya asetilkolin yang bekerja pada reseptor kolinergik (muskarinik) sebagai agonis; sementara adanya atropine, kuinidin, dan antihistamin H1 sebagai antagonis untuk reseptor yang sama.
  • Interaksi fisiologik: merupakan interaksi pada sistem fisiologik yang sama, sehingga dapat mengakibatkan peningkatan atau penurunan respons. Misalnya penggunaan antidiabetes (bekerja pada sistem endokrin) dengan tiazid atau kortikosteroid (juga bekerja pada sistem endokrin) dapat menurunkan efek antidiabetik. Demikian juga penggunaan obat _-bloker dengan verapamil dapat menyebabkan gagal jantung dan bradikardia.

Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik terjadi di mana efek dari satu obat yang diubah oleh kehadiran obat lain di tempat kerjanya. Kadang-kadang obat secara langsung bersaing untuk reseptor tertentu (misalnya agonis beta2, seperti salbutamol, dan beta blockers, seperti propranolol) tetapi sering reaksi yang lebih langsung dan melibatkan gangguan fisiologis mekanisme (Stockley, 2008).
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang aditif, sinergistik atau antagonistik, tanpa terjadi perubahan kadar obat dalam plasma (Setiawati, 2007). Hal ini terjadi karena kompetisi pada reseptor yang sama atau interaksi obat pada sistem fisiologi yang sama. Interaksi jenis ini tidak mudah dikelompokkan seperti interaksi-interaksi yang mempengaruhi konsentrasi obat dalam tubuh, tetapi terjadinya interaksi tersebut lebih mudah diperkirakan dari efek farmakologi obat yang dipengaruhi (Fradgley, 2003)
Beberapa mekanisme interaksi obat dengan farmakodinamika mungkin terjadi bersama-sama, antara lain :
  • Sinergisme
Interaksi farmakodinamik yang paling umum terjadi adalah sinergisme antara dua obat yang bekerja pada sistem, organ, sel, enzim yang sama dengan efek farmakologi yang sama. Semua obat yang mempunyai fungsi depresi pada susunan saraf pusat- sebagai contoh, etanol, antihistamin, benzodiazepin (diazepam, lorazepam, prazepam, estazolam, bromazepam, alprazolam), fenotiazin (klorpromazina, tioridazina, flufenazina, perfenazina, proklorperazina, trifluoperazina), metildopa, klonidina- dapat meningkatkan efek sedasi.
Semua obat antiinflamasi non steroid dapat mengurangi daya lekat platelet dan dapat meningkatkan (pada derajat peningkatan yang tidak sama) efek antikoagulan. Suplemen kalium dapat menyebabkan hiperkalemia yang sangat berbahaya bagi pasien yang memperoleh pengobatan dengan diuretik hemat kalium (contoh amilorida, triamteren), dan penghambat enzim pengkonversi angiotensin (contoh kaptopril, enalapril) dan antagonis reseptor angiotensin-II (contoh losartan, valsartan). Dengan cara yang sama verapamil dan propanolol (dan pengeblok beta yang lain), keduanya mempunyai efek inotropik negatif, dapat menimbulkan gagal jantung pada pasien yang rentan.
  • Antagonisme
Antagonisme terjadi bila obat yang berinteraksi memiliki efek farmakologi yang berlawanan. Hal ini mengakibatkan pengurangan hasil yang diinginkan dari satu atau lebih obat. Sebagai contoh, penggunaan secara bersamaan obat yang bersifat beta agonis dengan obat yang bersifat pemblok beta (Salbutamol untuk pengobatan asma dengan propanolol untuk pengobatan hipertensi, dapat menyebabkan bronkospasme); vitamin K dan warfarin; diuretika tiazid dan obat antidiabet.
Beberapa antibiotika tertentu berinteraksi dengan mekanisme antagonis. Sebagai contoh, bakterisida seperti penisilin, yang menghambat sintesa dinding sel bakteri, memerlukan sel yang terus bertumbuh dan membelah diri agar berkhasiat maksimal. Situasi ini tidak akan terjadi dengan adanya antibiotika yang berkhasiat bakteriostatik, seperti tetrasiklin yang menghambat sintesa protein dan juga pertumbuhan bakteri.
  • Efek reseptor tidak langsung

Kombinasi obat dapat bekerja melalui mekanisme saling mempengaruhi efek reseptor yang meliputi sirkulasi kendali di fisiologis dan biokimia. Pengeblok beta non selektif seperti propanolol dapat memperpanjang lamanya kondisi hipoglikemi pada pasien diabet yang diobati dengan insulin dengan menghambat mekanisme kompensasi pemecahan glikogen. Respon kompesasi ini diperantarai oleh reseptor beta Z namun obat kardioselektif seperti atenolol lebih jarang menimbulkan respon hipoglikemi apabila digunakan bersama dengan insulin. Lagipula obat-obat pengeblok beta mempunyai efek simpatik seperti takikardia dan tremor yang dapat menutupi tanda-tanda bahaya hipoglikemi, efek simpatik ini lebih penting dibandingkan dengan akibat interaksi obat pada mekanisme kompensasi di atas.
  • Gangguan cairan dan elektrolit
Interaksi obat dapat terjadi akibat gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Pengurangan kadar kalium dalam plasma sesudah pengobatan dengan diuretik, kortikosteroid, atau amfoterisina akan meningkatkan resiko kardiotoksisitas digoksin. Hal yang sama, hipokalemia meningkatkan resiko aritmia ventrikuler dengan beberapa obat antiaritmia seperti sotalol, kuinidin, prokainamida, dan amiodaron. Penghambat ACE mempunyai efek hemat kalium, sehingga pemakaiannya bersamaan dengan suplemen kalium atau diuretik hemat kalium dapat menyebabkan hiperkalemia yang berbahaya. Loop diuretik dapat meningkatkan konsentrasi obat-obat yang bersifat nefrotoksik seperti gentamisin dan sefaloridina dalam ginjal.

You Might Also Like

1 komentar