B I O F A R M A S E T I K A
Biofarmasi adalah cabang ilmu
farmasi yang mempelajari hubungan antara
sifat-sifat fisiko kimia dari bahan
baku obat dan bentuk sediaan dengan efek terapi
sesudah pemberian obat tersebut
kepada pasien”. Perbedaan sifat fisiko kimia dari
sediaan ditentukan oleh bentuk
sediaan, formula dan cara pembuatan, sedangkan
perbedaan sifat fisiko kimia bahan
baku obat dapat berasal dari bentuk bahan baku
(ester , garam, kompleks atau
polimorfisme) dan ukuran partikel.
Selanjutnya perkembangan ilmu
biofarmasi , melihat bentuk sediaan sebagai
suatu “drug delivery system” yang menyangkut
pelepasan obat berkhasiat dari
sediaannya, absorpsi dari obat
berkhasiat yang sudah dilepaskan, distribusi obat yang
sudah diabsorpsi oleh cairan tubuh,
metabolisme obat dalam tubuh serta eliminasi
obat dari tubuh.
Sebelum obat yang diberikan pada pasien
sampai pada tujuannya dalam
tubuh, yaitu tempat kerjanya atau
target site, obat harus mengalami banyak proses.
Dalam garis besar proses-proses ini
dapat dibagi dalam tiga tingkat, yaitu Fase
Biofarmasi, Fase Farmakodinamik,
Fase Farmakokinetika.
Dapat digambarkan dengan skema
berikut untuk obat dalam bentuk tablet
yaitu :
· Tablet dengan Zat Aktif (FASE
BIOFARMASI) Tablet pecah, granul pecah,
zat aktif lepas dan larut Obat tersedia
untuk resorpsi Absorpsi,
Metabolisme, Distribusi, Ekskresi (FASE
FARMAKOKINETIKA) Obat
tersedia untuk bekerja Interaksi
dengan reseptor di tempat kerja (FASE
FARMAKODINAMIKA) EFEK.
Pada makalah ini hanya akan dijelaskan
fase biofarmasi saja yaitu fase
pelepasan senyawa aktif obat dari sediaannya
hingga senyawa aktif tersebut di
absorbsi oleh tubuh.
II. BENTUK SEDIAAN OBAT
I. Sediaan Peroral
- Larutan - Kapsul
- Suspensi - Tablet
- Emulsi
II. Sediaan Rektal dan Vaginal
III. Sediaan Parenteral
- Intravena
- Intramuskular
- Subkutan
IV. Sediaan Topikal dan Transdermal
V. Sediaan Respiratori
VI. Sediaan Mata
III. RUTE PEMAKAIAN DAN BENTUK
SEDIAAN
IV. FORMULASI OBAT DAN
PHARMACEUTICAL AVAILABILITY
Farmaceutical Availability merupakan
ukuran waktu yang diperlukan untuk
obat yang dilepaskan dari bentuk
pemberiannya dan tersedia untuk proses resorpsi,
sehingga bentuk obat padat memerlukan
ukuran waktu yang lebih panjang dari pada
bentuk obat cair (F.A. tablet lebih
besar dari pada F.A. sirup). Banyak penyelidikan
tentang hal ini telah dilangsungkan
dengan tablet sebagai bentuk sediaan yang paling
umum.
Tablet Granul Terlepas Zat Aktif
Terlepas Zat Aktif Melarut
Keterangan Skema :
Setelah ditelan, tablet di dalam
lambung akan pecah (disintegrasi) menjadi
banyak granul kecil yang terdiri
dari zat-zat aktif dengan eksipien antara lain zat
pengisi dan pelekat. Kemudian
granul-granul ini pecah pula, zat aktif terlepas, dan
jika zat larutnya cukup besar akan
larut dalam cairan lambung atau usus. Baru setelah
obat larut, proses resorpsi oleh usus
dapat dimulai, proses yang disebut
Farmaceutical Availability. Jelaslah
dari uraian diatas, bahwa obat bila diberikan
dalam bentuk larutan akan mencapai keadaan
Farmaceutical Availability dalam
waktu yang lebih singkat daripada
tablet.
Kecepatan melarut obat tergantung dari
berbagai bentuk sediaan dengan
urutan sebagai berikut :
Larutan - Suspensi - Emulsi - Serbuk
- Kapsul - Tablet - Enterik Coated - Tablet
Kerja Panjang
Beberapa bentuk sediaan padat
dirancang untuk melepaskan obatnya ke dalam
tubuh agar diserap secara cepat
seluruhnya, sebaliknya produk lain dirancang untuk
melepaskan obatnya secara perlahan–lahan
supaya pelepasannya lebih lama dan
memperpanjang kerja obat. Tipe obat
yang disebutkan terakhir umumnya dikenal
tablet atau kapsul yang kerjanya
controlled release, delayed-release, sustained-action,
prolonged-action, sustained release,
prolonged-release, timed-release, slow-release,
extended-action atau
extended-release (Ansel, 1999).
Gambar 1. menunjukkan perbandingan
profil kadar obat di dalam darah yang
diperoleh dari pemberian bentuk sediaan
konvensional, terkontrol (controlled-
release), lepas lambat
(sustained-release). Tablet konvensional atau kapsul hanya
memberikan kadar puncak tunggal dan sementara
(transient). Efek farmakologi
kelihatan sepanjang jumlah obat
dalam interval terapetik. Masalah muncul ketika
konsentrasi puncak dibawah atau
diatas interval terapetik, khususnya untuk obat
dengan jendela terapetik sempit.
Pelepasan orde satu yang lambat yang dihasilkan
oleh sediaan lepas lambat dicapai dengan
memperlambatpelepasan dari bentuk
sediaan obat. Pada beberapa kasus,
hal ini dapat diperoleh melalui proses pelepasan
yang kontinyu (Jantzen &
Robinson, 1996).
Gambar 1. Profil kadar obat vs waktu
yang menunjukkan perbedaan antara
pelepasan terkontrol orde nol
(zero-order release), pelepasan lambat orde satu
(sustained release) dan pelepasan
dari sediaan tablet atau kapsul konvensional
(immediate release) (Jantzen &
Robinson, 1996).
Faktor fisika-kimia yang
mempengaruhi desain bentuk sediaan lepas lambat
peroral (Jantzen & Robinson, 1996)
adalah :
a. Ukuran dosis
Sediaan lepas lambat tidak cocok
untuk obat – obat yang memiliki dosis
relative besar.
b. Kelarutan
Senyawa dengan kelarutan yang sangat
rendah (< 0,01 mg/ml) sudah bersifat
lepas lambat, pelepasan obat dari bentuk
sediaan dalam cairan gastrointestinal
dibatasi oleh kecepatan disolusinya.
c. Koefisien partisi
Senyawa dengan koefisien partisi
yang rendah akan mengalami kesulitan
menembus membran sehingga
bioavailabilitasnya rendah.
d. Stabilitas
Untuk obat yang tidak stabil dalam
usus halus akan menunjukkan penurunan
bioavailabilitas jika diberikan
dalam bentuk sediaan lepas lambat.
V. ZAT EKSIPIEN PADA OBAT
Pada tahun 1971 di Australia terjadi
peristiwa difantoin (=fenitoin), pada mana
banyak pasien yang menelan tablet anti-apilepsi
ini menunjukkan gejala-gejala
keracunan. Ternyata bahwa kadar
fenitoin dari tablet-tablet tersebut sangat tepat,
tetapi pada pembuatannya zat pengisi
kalsiumsulfat telah diganti dengan laktosa.
Akibat perubahan itu FA fenitoin
dipertinggi, yang mengakibatkan meningkatnya
resorpsi dengan efek-efek toksis.
Begitu pula terdapatnya zat-zat dengan kegiatan
permukaan (Tween dsb) atau zat hidrofil
yang mudah larut dalam air
(polivinilpirolidon, carbowax) dapat
mempercepat melarutnya zat aktif dari tablet.
Efek kebalikannya terjadi bila
zat-zat hidrofob digunakan pada produksi tablet
sebagai pelicin untuk mempermudah mengalirnya
campuran tablet ke tempat
percetakan mesin dan mencegah
melekatnya pada stempel. Contoh zat ini adalah
magnesium stearat, zat ini dapat menghambat
melarutnya zat aktif, maka itu
sebaiknya dipakai sesedikit mungkin
pada pembuatan tablet, serbuk, atau kapsul.
Kini,sering digunakan Aerosil (asam
silikat koloidal) sebagai zat pelicin dan anti
lengket, karena tidak menghambat
melarutnya zat aktif.
Zat pengikat (pada tablet) dan zat
pengental seperti gom, gelatin, dan tajin
umunya juga memperlambat larutnya
obat,sedangkan zat desintegrasi (seperti
amylum) justru mempercepat.
Akhirnya, semakin keras pencetakan tablet, semakin
sukar melarutnya zat aktif. Begitu pula
tablet yang disimpan lama sering kali
mengeras dan lebih sukar larut.
VI. BIOLOGICAL AVAILABILITY
Bio-Availability (ketersediaan
hayati) adalah presentase obat yang diresorspi
tubuh dari suatu dosis yang
diberikan dan tersedia untuk melakukan efek
terapetiknya. Dengan kata lain,
Bio-Availability menyatakan jumlah obat dalam
porsen terhadap dosis yang mencapai sirkulasi
sistemik dalam bentuk utuh
atau aktif.
Hal ini terjadi karena untuk obat-obat
tertentu tidak semua yang
diabsorpsi akan mencapai sirkulasi
sistemik.Sebagian akan dimetabolisme
oleh enzim di dinding usus (pada pemberian
oral) dan atau dihati pada
lintas pertama melalui organ-organ
tersebut. Metabolisme ini disebut
metabolisme atau eliminasi lintas
pertama atau eliminasi prasistemik.
Aspek biofarmasetika dari obat dan
produk, yaitu :
1. Kelarutan
Kelarutan didefinisikan sebagai
banyaknya materi (obat) yang dapat terlarut
dalam suatu solven (pelarut) pada
kesetimbangan Kelarutan berkaitan dengan
disolusi (pelarutan) yaitu laju larutnya
suatu zat dalam satuan waktu.
Kelarutan merupakan parameter
biofarmasetik untuk pemberian oral, karena
obat harus larut dalam cairan
lambung sebelum diabsorpsi.
2. Hidrofilisitas / lipofilisitas
Koefisien partisi atau distribusi
dari suatu obat merupakan suatu ukuran relatif
dari kecenderungan senyawa untuk
berbagi antara solven hidrofil dan lipofil,
dan ini mengindikasikan sifat hidrofilik/lipofilik
material tersebut.
Lipofilisitas penting dalam biofarmasetik
karena sifat tersebut berefek
terhadap partisi pada membran
biologis dan karenanya mempengaruhi
permeabilitas melalui membran yaitu
berikatan atau berdistribusi pada
jaringan in vivo.
3. Bentuk garam dan polimorf
Senyawa obat dapat berada dalam
beragam bentuk, termasuk garam, solvat,
hidrat, polimorf atau amorf. Bentuk
padatan akan mempengaruhi sifat zat
padat tersebut antara lain
kelarutan, laju disolusi, stabilitas, higroskopisitas,
dan juga memberi dampak pada proses
manufaktur dan kinerja klinis. Bentuk
garam dapat dipilih, yang mempunyai
kelarutan lebih besar, dan ini akan
memperbaiki laju disolusi dari zat
aktif.
4. Stabilitas
Stabilitas kimia dari obat amat penting
untuk menghindarkan implikasi
aktivitas farmakologik dan/atau
toksikologik. Profil stabilitas pH juga penting
dari perspektif fisiologik dengan
pertimbangan rentang nilai pH yang terjadi
in vivo, khususnya dalam saluran cerna.
Stabilitas fisik mengacu pada
perubahan senyawa obat padat yaitu termasuk
transisi polimorfik,
solvatasi/desolvatasi. Ditingkat
produk stabilitas menyangkut integritas sifat
mekanis (kekerasan, friabilitas, swelling)
dan perubahan pada tampilan
produk.
5. Sifat partikel dan serbuk
Sifat ruah (curah) serbuk farmasetis
termasuk ukuran partikel, kerapatan,
aliran, wettability, dan luas
permukaan. Beberapa sifat tersebut penting dari
pandangan proses pabrikasi
(manufaktur) , misalnya kerapatan dan aliran,
sedangkan sifat lainnya dapat
berpengaruh kuat pada laju disolusi produk
obat (ukuran partikel, wettability,
dan luas permukaan).
6. Formulasi
Bahan tambahan (eksipien) ditambahkan
dalam suatu produk dapat
mempengaruhi absorpsi obat.
· Menaikkan kelarutan obat, menaikkan
laju absorpsi obat
· Menaikkan waktu penahan obat dalam
saluran cerna, hingga dapat
menaikkan jumlah obat yang
terabsorpsi
· Menaikkan difusi obat melintasi
dinding usus
· Memperlambat pelarutan (disolusi),
menurunkan absorpsi obat.
VII. KELARUTAN
Secara kuantitatif, kelarutan suatu
zat dinyatakan sebagai suatu konsentrasi
zat terlarut di dalam larutan
jenuhnya pada suhu dan tekanan tertentu. Kelarutan
dinyatakan dalam satuan mililiter
pelarut yang dapat melarutkan satu gram zat.
Misalnya 1 gr asam salisilat akan
larut dalam 550 ml air. Suatu kelarutan juga dapat
dinyatakan dalam satuan molalitas,
molaritas dan persen.
Pelepasan zat aktif dari suatu
bentuk sediaannya sangat dipengaruhi oleh sifat-
sifat kimia dan fisika zat tersebut
serta formulasinya.
Pelepasan zat aktif dari suatu
bentuk sediaannya sangat dipengaruhi oleh sifat-
sifat kimia dan fisika zat tersebut
serta formulasinya.
Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kelarutan suatu zat antara lain :
· pH
· Temperatur
· Jenis pelarut
· Bentuk dan ukuran partikel zat
· Konstanta dielektrik pelarut
· Adanya zat-zat lain, misalnya
surfaktan pembentuk kompleks, ion sejenis dll.
1. Pengaruh pH
Zat aktif yang sering digunakan di
dalam dunia pengobatan umumnya adalah
zat organik yang bersifat asam
lemah, dimana kelarutannya sangat dipengaruhi oleh
pH pelarutnya. Kelarutan asam-asam organik
lemah seperti barbiturat dan
sulfonamide dalam air akan bertambah
dengan naiknya pH karena terbentuk garam
yang mudah larut dalam air.
Sedangkan basa-basa organik lemah seperti alkoholida
dan anastetika lokal pada umumnya
sukar larut dalam air. Bila pH larutan diturunkan
dengan penambahan asam kuat maka
akan terbentuk garam yang mudah larut dalam
air.
2. Pengaruh temperatur (suhu)
Kelarutan zat padat dalam larutan
ideal tergantung kepada temperatur, titik
leleh zat padat dan panas peleburan
molar zat tersebut. Kelarutan suatu zat padat
dalam air akan semakin tinggi bila suhunya
dinaikan. Adanya panas (kalor)
mengakibatkan semakin renggangnya
jarak antar molekul zat padat tersebut.
Merenggangnya jarak antar molekul zat
padat menjadikan kekuatan gaya antar
molekul tersebut menjadi lemah
sehingga mudah terlepas oleh gaya tarik molekul-
molekul air. Berbeda dengan zat padat,
adannya pengaruh kenaikan suhu akan
menyebabkan kelarutan gas dalam air
berkurang. Hal ini disebabkan karena gas yang
terlarut di dalam air akan terlepas
meninggalkan air bila suhu meningkat.
3. Pengaruh jenis pelarut
Kelarutan suatu zat sangat
dipengaruhi oleh polaritas pelarut. Pelarut polar
akan melarutkan lebih baik zat-zat
polar dan ionik, begitu pula sebaliknya. Kelarutan
juga bergantung pada struktur zat,
seperti perbandingan gugus polar dan non polar
dari suatu molekul. Makin panjang
rantai gugus non polar suatu zat, makin sukar zat
tersebut larut dalam air.
Menurut Hilderbrane : kemampuan zat terlarut
untuk membentuk ikatan
hydrogen lebih pentig dari pada
kemolaran suatu zat. Senyawa polar (mempunyai
kutub muatan) akan mudah larut dalam
senyawa polar. Misalnya gula, NaCl, alkohol,
dan semua asam merupakan senyawa
polar sehingga mudah larut dalam air yang juga
merupakan senyawa polar. Sedangkan
senyawa nonpolar akan mudah larut dalam
senyawa nonpolar, misalnya lemak
mudah larut dalam minyak. Senyawa nonpolar
umumnya tidak larut dalam senyawa
polar, misalnya NaCl tidak larut dalam minyak
tanah.
Pelarut polar bertindak sebagai
pelarut dengan mekanisme sebagai berikut :
· Mengurangi gaya tarik antara ion
yang berlawanan dalam Kristal.
· Memecah ikatan kovalen
elektrolit-elektrolit kuat, karena pelarut ini bersifat
amfiprotik.
· Membentuk ikatan hidrogen dengan
zat terlarut.
Pelarut non polar tidak dapat mengurangi
daya tarik-menarik antara ion-ion
karena konstanta dielektiknya yang
rendah. Iapun tidak dapat memecahkan ikatan
kovalen dan tidak dapat membentuk
jembatan hidrogen. Pelarut ini dapat melarutkan
zat-zat non polar dengan tekanan
internal yang sama melalui induksi antara aksi
dipol. Pelarut semi polar dapat menginduksi
tingkat kepolaran molekul-molekul
pelarut non polar. Ia bertindak sebagai
perantara (Intermediete Solvent) untuk
mencampurkan pelarut non polar
dengan non polar.
4. Pengaruh bentuk dan ukuran
partikel
Kelarutan suatu zat akan naik dengan
berkurangnya ukuran partikel suatu zat.
Konfigurasi molekul dan bentuk
susunan kristal juga berpengaruh terhadap kelarutan
zat. Partikel yang bentuknya tidak
simetris lebih mudah larut bila dibandingkan
dengan partikel yang bentuknya
simetris.
5. Pengaruh konstanta dielektrik
Kelarutan suatu zat sangat
dipengaruhi oleh polaritas pelarut. Pelarut polar
mempunyai konstanta dielektrik yang
tinggi dapat melarutkan zat-zat non polar sukar
larut di dalamnya, begitu pula
sebaliknya. Besarnya tetapan dielektrik ini menurut
moore dapat diatur dengan penambahan
pelarut lain. Tetapan dielektrik suatu
campuran pelarut merupakan hasil penjumlahan
dari tetapan dielektrik masing-
masing yang sudahdikalikan dengan %
volume masing-masing komponen pelarut.
6. Pengaruh penambahan zat-zat lain
Surfaktan adalah suatu zat yang
sering digunakan untuk menaikan kelarutan
suatu zat. Molekul surfaktan terdiri
atas dua bagian yaitu bagian polar dan non polar.
Apabila didispersikan dalam air pada
konsentrasi yang rendah, akan berkumpul pada
permukaan dengan mengorientasikan
bagian polar ke arah air dan bagian non polar
kearah udara, surfaktan mempunyai
kecenderungan berasosiasi membentuk agregat
yang dikenal sebagai misel.
VIII. ABSORPSI
Absorpsi atau penyerapan zat aktif
adalah masuknya molekul-molekul obat
kedalam tubuh atau menuju ke peredaran
darah tubuh setelah melewati sawar
biologik. Absorpsi obat adalah peran
yang terpenting untuk akhirnya menentukan
efektivitas obat (Joenoes, 2002).
Agar suatu obat dapat mencapai tempat kerja di
jaringan atau organ, obat tersebut harus
melewati berbagai membran sel. Pada
umumnya, membran sel mempunyai struktur
lipoprotein yang bertindak sebagai
membran lipid semipermeabel (Shargel
dan Yu, 1985). Sebelum obat diabsorpsi,
terlebih dahulu obat itu larut dalam
cairan biologis. Kelarutan (serta cepat-lambatnya
melarut) menentukan banyaknya obat
terabsorpsi. Dalam hal pemberian obat per oral,
cairan biologis utama adalah cairan gastrointestinal;
dari sini melalui membran
biologis obat masuk ke peredaran
sistemik. Disolusi obat didahului oleh pembebasan
obat dari bentuk sediaannya.
Secara ringkas proses biofarmasetik
digambarkan dalam gambar 4 (Joenoes,
2002).
Gambar 4. Fase Biofarmasetik Obat (Joenoes,
2002)
Obat yang terbebaskan dari bentuk
sediaannya belum tentu diabsorpsi kalau
obat tersebut terikat pada kulit
atau mukosa disebut adsorpsi. Kalau obat sampai
tembus ke dalam kulit, tetapi belum
masuk ke kapiler disebut penetrasi. Hanya kalau
obat meresap/menembus dinding
kapiler dan masuk ke dalam saluran darah baru itu
disebut absorpsi (Joenoes, 2002).
Berarti suksesnya perpindahan obat dari
suatu bentuk sediaan dosis oral
kedalam sirkulasi umum bisa dicapai
dengan empat langkah proses yaitu :
1. Penghantaran obat pada tempat
absorpsinya
2. Keberadaan obat dalam bentuk
larutan
3. Pergerakan dari obat larut
melalui membran saluran cerna
4. Pergerakan obat dari tempat
absorpsi ke dalam sirkulasi umum (Syukri,
2002).
Absorpsi obat adalah langkah utama
untuk disposisi obat dalam tubuh dari
sistem LADME (Liberasi-Absorpsi-Distribusi-Metabolisme-Ekskresi).
Bila
pembebasan obat dari bentuk
sediaannya (liberasi) sangat lamban, maka disolusi dan
juga absorpsinya lama, sehingga
dapat mempengaruhi efektivitas obat secara
keseluruhan (Joenoes, 2002).
Faktor-faktor yang mempengaruhi
absorpsi obat :
1. Pengaruh besar-kecilnya partikel
obat
Kecepatan disolusi obat berbanding
langsung dengan luas permukaan yang
dalam kontak dengan cairan/pelarut; bertambah
kecil partikel, bertambah luas
permukaan total, bertambah mudah
larut (Joenoes, 2002).
2. Pengaruh daya larut obat
Pengaruh daya larut obat/bahan aktif
tergantung pada:
a. Sifat kimia : modifikasi kimiawi
obat
b. Sifat fisik : modifikasi fisik
obat
c. Prosedur dan teknik pembuatan
obat
d. Formulasi bentuk sediaan/galenik
dan penambahan eksipien (Joenoes, 2002).
3. Beberapa faktor lain fisiko-kimia
obat
a. pKa dan derajat ionisasi obat
Konsentrasi relatif bentuk
ion/molekul bergantung pada pKa obat dan juga
pada pH lingkungannya. Kebanyakan
obat berupa asam lemah atau basa lemah; oleh
karena absorpsi dengan cara difusi
pasif hanya terjadi dalam bentuk tidak terionisasi
(atau molekul), maka perbandingan
obat yang tidak terionisasi sangat menentukan
absorpsi. pKa obat merupakan faktor
penting, apakah obat itu bila diberikan per oral
diabsorpsi lebih banyak di lambung
atau lebih banyak di usus (Joenoes, 2002).
b. Koefisien partisi lemak/air
(Joenoes, 2002).
Mekanisme Lintas Membran
Mekanisme lintas membran berkaitan
dengan peristiwa absorpsi, meliputi
mekanisme pasif dan aktif (termasuk
pembentukan) bersaing dalam proses
perlintasan zat aktif melalui
membran (Syukri, 2002).
a. Filtrasi atau konvektif
Filtrasi atau yang disebut juga
“difusi secara konvensi” adalah mekanisme
penembusan pasif melalui pori-pori
suatu membran. Semua senyawa yang berukuran
cukup kecil dan larut dalam air
dapat melewati kanal membran. Sebagian besar
membran (membran seluler epitel usus
halus dan lain-lain) berukuran kecil (4-7 Ã…)
dan hanya dapat dilalui oleh molekul
dengan bobot molekul yang kecil yaitu lebih
kecil dari 150 untuk senyawa yang
bulat, atau lebih kecil dari 400 jika molekulnya
terdiri atas rantai panjang (Syukri,
2002).
b. Difusi pasif “pH partisi
hipotesis”
Difusi pasif menyangkut senyawa yang
larut dalam komponen penyusun
membran. Penembusan terjadi karena adanya
perbedaan konsentrasi atau
elektrokimia tanpa memerlukan
energi, sehingga mencapai keseimbangan dikedua
sisi membran. Waktu yang diperlukan untuk
mencapai keseimbangan tersebut
mengikuti hukum difusi Fick (Syukri,
2002).
Laju penetrasi :
Konstanta Permeabilitas x Luas
Permukaan x Perbedaan Konsentrasi
Konstanta permeabilitas :
Koefisien difusi x Koefisien partisi
Ketebalan membran
Jadi konsentrasi (C) senyawa di
kedua sisi membran berpengaruh pada proses
penembusan, tetapi perlu ditekankan
bahwa hanya fraksi bebas dari zat aktif yang
diperhitungkan dalam perbedaan konsentrasi.
Kombinasi zat aktif-protein yang
terbentuk tersebut tidak dapat
terdifusi karena alasan bobot molekulnya. Dalam hal
ini hanya fraksi bebas yang dapat
berdifusi, rantai protein merupakan faktor yang
secara tidak langsung mempengaruhi
laju difusi melalui membran (Syukri, 2002).
Kebanyakan zat aktif merupakan basa atau
asam organik, maka dalam
keadaan terlarut sebagian molekul
berada dalam bentuk terionkan dan sebagian dalam
bentuk tak terionkan. Jika ukuran
molekul tidak dapat melalui kanal-kanal membran,
maka polaritas yang kuat dari bentuk
terionkan akan menghambat proses difusi
transmembran. Hanya fraksi zat aktif
yang tak terionkan dan larut dalam lemak yang
dapat melalui membran dengan cara difusi
pasif. Pentingnya faktor-faktor yang
berpengaruh pada difusi transmembran
dari suatu molekul (derajat ionisasi molekul,
pH kompartemen) digarisbawahi dalam
“Teori Difusi Non Ionik atau Hipotesa pH
Partisi” (Syukri, 2002).
Untuk obat yang zat aktifnya merupakan
garam dari suatu asam kuat atau basa
kuat, derajat ionisasi berperan pada
hambatan difusi transmembran. Sebaliknya untuk
elektrolit lemah berupa garam yang
berasal dari asam lemah atau basa lemah yang
sedikit terionisasi, maka difusi
melalui membran tergantung kelarutan bentuk tak
terionkan (satu-satunya yang
berpengaruh pada konsentrasi), serta derajat ionisasi
molekul (Syukri, 2002).
Derajat ionisasi tergantung pada dua
faktor, (persamaan Henderson
Hasselbach) yaitu:
a. Tetapan ionisasi dari suatu
senyawa atau pKa
b. pH cairan dimana terdapat molekul
zat aktif
Untuk asam : pH = pKa + log
Konsentrasi bentuk terionkan
Konsentrasi bentuk tak terionkan
Untuk basa : pH = pKa + log
Konsentrasi bentuk tak terionkan
Konsentrasi bentuk terionkan
Karakteristik fisiko-kimia sebagian
besar molekul (polaritas, ukuran molekul,
dan sebagainya) merupakan hambatan
penembusan transmembran oleh mekanisme
pasif secara filtrasi dan difusi. Pengikutsertaan
proses aktif dapat menjelaskan
perjalanan obat yang kadang-kadang
melintasi membran sel dengan sangat cepat
(Syukri, 2002).
Gambar 2. Transpor trans membran
difusi pasif (Joenoes, 2002).
c. Tranpor aktif
Transpor aktif suatu molekul
merupakan cara pelintasan transmembran sangat
berbeda dengan difusi pasif. Pada transpor
aktif diperlukan adanya pembawa.
Pembawa ini dengan molekul yang
dapat membentuk kompleks pada permukaan
membran. Kompleks tersebut melintasi
membran dan selanjutnya molekul
dibebaskan pada permukaan lainnya,
lalu pembawa kembali menuju ke permukaan
asalnya (Syukri, 2002).
Sistem transpor aktif bersifat
jenuh. Sistem ini menunjukkan adanya suatu
kekhususan untuk setiap molekul atau
suatu kelompok molekul. Oleh sebab itu dapat
terjadi persaingan beberapa molekul yang
berafinitas tinggi dapat menghambat
kompetisi transpor dari molekul yang
berafinitas lebih rendah. Transpor dari satu sisi
membran ke sisi membran yang lain
dapat terjadi dengan mekanisme perbedaan
konsentrasi. Tranpor ini memerlukan
energi yang diperoleh dari hidrolisa adenosin
trifosfat (ATP) dibawah pengaruh
suatu ATP-ase (Syukri, 2002).
Gambar 3. Transpor trans membran
transpor aktif (Joenoes, 2002)
d. Difusi sederhana (dipermudah =
fasilitas)
Difusi sederhana merupakan cara pelintasan
membran yang memerlukan
suatu pembawa dengan karakteristik
tertentu (kejenuhan, spesifik dan kompetitif).
Pembawa tersebut bertanggungjawab
terhadap transpor aktif, tetapi di sini perlintasan
terjadi akibat gradien konsentrasi
dan tanpa pembebasan energi (Syukri, 2002).
Gambar 4. Transpor trans membran
transpor yang dipermudah
e. Pinositosis
Pinositosis merupakan suatu proses perlintasan
membran oleh molekul-
molekul besar dan terutama oleh
molekul yang tidak larut. Perlintasan terjadi dengan
pembentukan vesikula (bintil) yang
melewati membran (Syukri, 2002).
Gambar 5. Transpor trans membran
pinositosis (Joenoes, 2002)
f. Transpor oleh pasangan ion
Transpor oleh pasangan ion adalah
suatu cara perlintasan membran dari suatu
senyawa yang sangat mudah terionkan
pada pH fisiologik. Perlintasan terjadi dengan
pembentukan kompleks yang netral
(pasangan ion) dengan senyawa endogen seperti
musin, dengan demikian memungkinkan
terjadinya difusi pasif kompleks tersebut
melalui membran (Syukri, 2002).
Gambar 6. Transpor trans membran
transpor pasangan ion (Joenoes, 2002)
Permeabilitas
Suatu senyawa obat untuk dapat
memberikan aktivitas harus mampu
menembus membran biologis dan
mencapai jaringan target dalam jumlah yang cukup
untuk menimbulkan aktivitas.
Parameter sifat fisika kimia yang paling berperan
dalam proses distribusi tersebut
adalah parameter lipofilik (Siswandono dan
Soekardjo, 2000).
Membran-membran biologis dengan
sifat lipoid, biasanya lebih permeabel
terhadap zat-zat yang larut dalam
lemak. Oleh karena itu pengangkutan melewati
membran-membran ini sebagian
tergantung pada kelarutan lemak dari jenis zat yang
mendifusi. Kelarutan dalam lemak
dari suatu obat ditentukan oleh adanya gugus-
gugus nonpolar dalam struktur
molekul obat tersebut, sebagaimana gugus-gugus yang
dapat terion dipengaruhi oleh pH
setempat (Lachman, dkk, 1989).
Sering dikatakan bahwa molekul yang
terionisasi tidak menembus membran,
kecuali untuk ion dengan diameter
kecil. Hal ini tidak sepenuhnya benar, karena
terdapatnya membran karier untuk
beberapa ion, yang mana efektif akan melindungi
atau menetralisasi muatan (bentuk
pasangan ion). Ketika obat merupakan suatu asam
atau basa lemah, dalam bentuk tak
terionisasi, dengan memiliki koefisien partisi
melewati membran biologis lebih
cepat daripada bentuk terionisasi, bahwa hanya
bentuk tidak terionisasi yang
dikaitkan dengan penembusan membran (Gennaro,
2001).
Koefisien partisi dari obat
tergantung pada polaritas dan ukuran dari molekul.
Obat dengan momen dipol yang tinggi,
walaupun tidak terionisasi, mempunyai
kelarutan dalam lemak rendah, dan
oleh karena itu sedikit terpenetrasi. Ionisasi bukan
saja mengurangi kelarutan dalam lemak
sangat besar tetapi juga menghalangi
perlintasan melewati membran yang
bermuatan (Gennaro, 2001). Umumnya koefisien
partisi lemak/air dari suatu molekul
merupakan indeks yang berguna dalam
kecenderungan untuk absorpsi oleh
difusi pasif (Lachman, dkk, 1989).
Koefisien partisi minyak/air
merupakan ukuran sifat lipofilik suatu molekul,
ini merupakan rujukan untuk sifat
fase hidrofilik atau lipofilik. Koefisien partisi harus
dipertimbangkan dalam pengembangan
bahan obat menjadi bentuk obat. Koefisien
partisi (P) menggambarkan rasio
pendistribusian obat kedalam pelarut sistem dua
fase, yaitu pelarut organik dan air
(Ansel, 1989). Bila molekul semakin larut lemak,
maka koefisien partisinya semakin
besar dan difusi trans membran terjadi lebih
mudah. Tidak boleh dilupakan bahwa
organisme terdiri dari fase lemak dan air,
sehingga bila koefisien partisi
sangat tinggi ataupun sangat rendah maka hal tersebut
merupakan hambatan pada proses
difusi zat aktif.
Suatu senyawa yang dapat larut dalam
dua pelarut yang tidak saling campur
maka senyawa akan terdistribusi ke
dalam fase polar (misal: air) dan fase non polar
(misal: oktanol, kloroform, karbontetraklorida).
Setelah tercapai kesetimbangan
ternyata kadar senyawa dalam kedua
pelarut tersebut selalu tetap (pada suhu yang
tetap) sehingga dapat ditentukan nilai
koefisien partisinya (Siswandono dan
Soekardjo, 2000).
Menurut Nernst, koefisien partisi
dapat disederhanakan sesuai dengan
persamaan:
P= Co/Cw atau Log P= log Co – log Cw
Keterangan :
Co : Kadar molal dalam fase non-air
Cw : Kadar molal dalam air, setelah
mengalami kesetimbangan partisi (Sardjoko,
1993).
Nilai P : Seringkali dinyatakan
dengan nilai log P. Sebagai contoh nilai log P 1 setara
dengan nilai P 10. Nilai P = 10
merupakan nilai P untuk senyawa tertentu
yang mengalami partisi ke dalam
pelarut organik dalam jumlah yang sama. P
= 10 berarti bahwa 10 bagian senyawa
berada dalam lapisan organik dan 1
bagian berada dalam lapisan air
(Rohman, 2007).
Membran Sel
Sel kehidupan dikelilingi oleh
membran yang berfungsi untuk memelihara
keutuhan sel, mengatur pemindahan
makanan dan produk yang terbuang, mengatur
keluar masuknya senyawa-senyawa dari
dan ke sitoplasma. Membran sel bersifat
semipermeabel dan mempunyai
ketebalan total ± 8 nm. Membran sel merupakan
bagian sel yang mengandung komponen-komponen
terorganisasi dan dapat
berinteraksi dengan mikromolekul
secara khas. Struktur membran biologis sangat
kompleks dan dapat mempengaruhi intensitas
dan masa kerja obat. Sesudah
pemberian secara oral, obat harus
melalui sel epitel saluran cerna, membran sistem
peredaran tertentu, melewati membran
kapiler menuju sel-sel organ atau reseptor obat
(Siswandono dan Soekardjo, 2000).
Membran sel terdiri
komponen-komponen yang terorganisasi, yaitu :
a. Lapisan Lemak Bimolekul
Tebal lapisan lemak bimolekul ± 35 ,
mengandung kolesterol netral danǺ
fosfo lipid terionkan, yang terdiri dari
fosfatidiletanolamin, fosfatidilkolin,
fosfatidilserin dan spingomielin. Berdasarkan
sifat kepolarannya lapisan lemak
bimolekul dibagi menjadi dua bagian
yaitu bagian non polar, terdiri dari rantai
hidrokarbon, dan bagian polar yang
terdiri dari gugus hidroksil kolesterol dan gugus
gliserilfosfat fosfolipid
(Siswandono dan Soekardjo, 2000).
b. Protein
Bentuk protein bervariasi, ada yang
besar, berat molekulnya ± 300.000 dan
ada pula yang sangat kecil. Protein bersifat
ampifil karena mengandung gugus
hidrofil dan hidrofob (Siswandono
dan Soekardjo, 2000).
c. Mukopolisakarida
Jumlah mukopolisakarida pada membran
biologis kecil dan strukturnya tidak
dalam keadaan bebas tetapi dalam
bentuk kombinasi dengan lemak, seperti glikolipid,
atau dengan protein, seperti
glikoprotein (Siswandono dan Soekardjo, 2000).
Membran sel mempunyai pori yang bergaris
tengah antara 3,5-4,2 ,Ǻ
merupakan saluran berisi air dan
dikelilingi oleh rantai samping molekul protein yang
bersifat polar. Zat terlarut dapat
melewati pori ini secara difusi karena kekuatan
tekanan darah (Siswandono dan
Soekardjo, 2000).
Contoh membran biologis: sel epitel
saluran cerna, sel epitel paru, sel endotel
buluh darah kapiler, sawar
darah-otak, sawar darah-cairan serebrospinal, plasenta,
membran glomerulus, membran tubulus
renalis, dan sel epidermis kulit (Siswandono
dan Soekardjo, 2000).
Usus Halus
Pencernaan makanan yang dimulai
dalam lambung, dilanjutkan dalam usus
halus oleh enzim-enzim yang
dihasilkan mukosanya dan dibantu agen pengemulsi
dan enzim yang disekresi ke dalam
lumennya oleh hati dan pankreas (Fawcett, 1994).
Usus halus merupakan lanjutan
lambung yang terdiri atas tiga bagian yaitu duodenum
yang terfiksasi, jejunum dan ileum yang
bebas bergerak. Diameter usus halus
beragam tergantung pada letaknya
(2-3 cm) dan panjang keseluruhan antara 5-9 m.
Panjang tersebut akan berkurang oleh
gerakan regangan otot, yang melingkari
peritoneum (Aiache, dkk, 1993).
Gambar 7. Usus Halus (Deferme, et
al, 2008)
Duodenum, dengan panjang sekitar 25
cm, terikat erat pada dinding dorsal
abdomen, dan sebagian besar terletak
retroperitoneal. Jalannya berbentuk-C,
mengitari kepala pankreas dan ujung
distalnya menyatu dengan jejunum, yang terikat
pada dinding dorsal rongga melalui
mesenterium. Jejunum dapat digerakkan bebas
pada mesenteriumnya dan merupakan
dua-perlima bagian proksimal usus halus,
sedangkan ileum merupakan sisa tiga-perlimanya.
Kelokan-kelokan jejunum
menempati bagian pusat abdomen, sedangkan
ileum menempati bagian bawah
rongga. Terdapat perbedaan kecil
dalam histologi mukosa ketiga segmen usus halus
itu, namun batas di antara ketiganya
tidak jelas. Dinding usus halus terdiri atas empat
lapis konsentris: mukosa, submukosa,
muskularis, dan serosa (Fawcett, 1994).
Mukosa terdiri dari empat lapisan: permukaan
lapisan tunggal, membran basal,
lamina propia dan lamina muskularis
mukosa (Deferme, et al, 2008). Mukosa usus
halus, kecuali yang terletak pada
bagian atas duodenum berbentuk lipatan-lipatan atau
disebut juga valvula conniventes. Lipatan-lipatan
inilah yang berfungsi sebagai
permukaan penyerapan dan penuh
dengan villi yang tingginya 0,75-1 mm dan selalu
bergerak. Adanya vili ini lebih
memperluas permukaan mukosa penyerapan hingga
40-50 m2 (Aiache,dkk,1993).
Bahan obat dari lambung masuk ke
duodenum; fungsi utama duodenum dan
bagian pertama jejunum adalah untuk
sekresi, sedangkan fungsi bagian kedua dari
jejunum dan ileum ialah untuk
absorpsi. pH usus halus meningkat dari duodenum 4-
6, jejunum 6-7, ileum 7-8. pH dalam
usus halus berperan besar dalam hal absorpsi
obat, sebagai akibat disolusi dari
berbagai bentuk sediaannya. Pada pH yang berbeda-
beda absorpsi optimal suatu obat
tergantung juga pada pKa obat (Joenoes, 2002).
XI. BCS (Biopharmaceutical
Classification System)
Sistem Klasifikasi Biofarmasetika adalah
suatu konsep untuk
mengklasifikasikan zat obat
berdasarkan kelarutan air dan permeabilitas usus. Sistem
klasifikasi ini ditemukan oleh Amidon
et al. Sistem klasifikasi biofarmasetik
(biopharmaceutical Classification System,
BCS) ini dapat digunakan untuk
menjustifikasi
persyaratan-persyaratan penelitian in vitro (sediaan) obat yang melarut
secara cepat, mengandung bahan aktif
yang sangat larut dan sangat permeable
(Goeswin,2009).
Jika diterima oleh Badan POM/FDA,
ketersediaan hayati dan bioekivalensi
sediaan yang memenuhi persyaratan
ini dapat dibuktikan melalui pengujian kelarutan
secara in vitro, permeabilitas dan
studi disolusi (Goeswin,2009).
Sebaiknya obat dengan permeabilitas
buruk, kelarutan buruk dan/atau
diformulasikan dalam bentuk sediaan
yang melarut secara lambat sangat mungkin
akan menunjukkan masalah
ketersediaan hayati, dan bukan merupakan calon obat
untuk diteliti ketersediaan hayati
secara in vivo (Goeswin,2009).
Sistem klasifikasi Biofarmasetika
(BCB)
Kelas1 High solubility High
permeability
Kelas2 Low solubility High
permeability
Kelas 3 High solubility Low
permeability
Kelas 4 Low solubility Low
permeability
Kelas solubility didasarkan kepada
volume media air yang diperlukan untuk
melarutkan dosis tertinggi obat pada
rentang pH 1 – 7.5
Suatu obat dimasukkan dalam “high”
soluble, jika dosis tertinggi obat (missal
6 mg) (obat, dosis 2.4 mg dan 6 mg)
dalam volume 250 ml air. Sediaan oral padat
pelepasan segera (immediate release,
IR) dikelompokkan dalam yagn menunjukkan
kecepatan disolusi cepat dan kecepatan
dissolusi lambat. Sediaan IR adalah sediaan
farmasi dimana dissolusi ≥ 85% dari
dosis (jumlah pernyataan) pada label obat dalam
waktu 30 menit (Q 30).
Pengujian disolusi harus dilakukan
menurut cara UPS Apparatus I pada 100
rpm (atau Apparatus II pada 50 rpm)
dalam volume ≤ 900 ml dari medium berikut:
(i) 0.1 N asam hidroklorida atau
cairan simulasi lambung USP tanpa enzim
(ii) Pada dapar pH 4.5 dan
(iii) Pada dapar pH 6.8 atau cairan
simulasi intestinal USP tanpa enzim
Profil disolusi produk T (test) dan
R (reference) dibandingkan menggunakan
faktor kemiripan (similarity) (f2).
Nilai f2 > 50 (atau mendekati 100) menjamin
kemiripan (ekivalensi) dari kedua
profil disolusi yagn berarti kinerja dari produk yang
diuji dan referensi sebanding.
Perbandingan profil menggunakan f2 tidak diperlukan
jika ≥ 85%, jumlah pernyataan kadar
obat pada lebel baik produk yang diuji atas
referensi terdisolusi dalam waktu 15
menit menggunakan masing masing media
tersebut (Q15 ≥ 85% (Goeswin,2009
2 komentar
nice info banget kak
BalasHapusmerk tepung kentang
BAgus, semoga terus memberikan kontribusi ilmu famrmasi kepada masyarakat umunya dan para farmasis khususnya..tk
BalasHapus